Keesokannya di sekolah, aku menemukan sosok Pak Hendra sudah berdiri di depan pintu ruang guru sambil memainkan ponselnya dengan raut serius. Saat itu juga aku mengalami kegalauan antara ingin terus jalan melewatinya atau berhenti sesaat untuk sekadar memberi salam.
Selagi berpikir demikian, aku juga penasaran dengan sosok yang tengah berkomunikasi dengannya. Mungkin kah lagi-lagi dia menghubungi Kenji untuk sekadar menanyakanku?
"Oi, Nggun? Ngapain matung di sini? enggak masuk kelas?" tanya Tara yang baru saja tiba dan mengagetkanku yang sedang tak fokus.
"Oh, Tara.. iya, ini mau masuk."
"Yuk, bareng."
"Oke."
Aku pun berjalan sejajar dengan dirinya dan berjalan hampir mendekati Pak Hendra yang masih saja sibuk dengan ponselnya.
"Pagi, Pak Hendra." Seru Tara sehingga mengagetkan Pak Hendra. Ia yang semula berada di posisi bersandar segera menegakkan punggungnya.
"Pagi." balasnya dengan senyum, kemudian melirik ke arahku. Kami berdua menyalimi tangan kanannya.
"Ngehubungin siapa sih, Pak... mukanya sampai serius banget gitu, pacarnya yaaah?" goda Tara.
"Apa sih kamu, pacar pacaran, udah masuk sana ke kelas sebentar lagi bel." Usir Pak Hendra.
Tara justru tertawa ketika diusir seperti itu, "Jiee, enggak mau ngaku kalau lagi kontakan sama pacarnya hahaha."
"Ck ini anak, awas ya kalau kamu nyebarin gosip yang enggak-enggak sama teman-teman sekelas kamu, nilai kamu saya kurangi." Ancam guru tersebut.
"Jiee, Pak Hendra..." ledek Tara yang tak merasa takut dengan ancaman dari wali kelasku itu. Ia justru menarik tanganku dan kami melanjutkan perjalanan ke kelas.
Sebelum mengalihkan pandangan ke depan, aku masih mendapati Pak Hendra memandangiku dengan cukup lama. Dari sorot matanya, seperti ada hal penting yang ingin diutarakan.
"Eh, iya Nggun, di restoran ada menu baru enggak?" pertanyaan Tara yang disampaikan dengan berbisik-bisik membuyarkan fokusku pada Pak Hendra.
"Ada. Kalau mau tahu, datang aja sore ini." balasku sambil berbisik juga.
"Oh iya, apa?"
"Rahasia, datang aja nanti dan lihat sendiri menu barunya."
"Ih, bisa banget sih strategi marketingnya." Keluh Tara. Aku terkekeh.
***
Di ruang guru, Pak Hendra terlihat tidak terlalu bersemangat. Hal itu disebabkan karena pesan dari Gendhis yang mengatakan ingin menemuinya di rumah sehabis jam kerja Hendra usai. Ia sudah menolak dengan keras keinginan mantannya itu, namun bukan Gendhis namanya kalau tidak memaksakan kehendaknya pada orang lain. Hingga akhirnya Hendra terpaksa berbohong kalau ia akan lembur di sekolah hari ini untuk persiapan ujian. Sayangnya, ia semakin geram saat mendapatkan jawaban kalau Gendhis akan tetap datang berkunjung ke rumahnya bahkan menawari untuk menjemputnya di sekolah.
"Duh, si Gendhis nih emang rese' banget... enggak bisa apa dia cari laki-laki lain. Perasaan dulu gampang banget dia selingkuh gue sama laki-laki lain, sekarang kenapa keras kepala banget buat nempel mulu sama gue." gumamnya dengan kesal. "Gue nginep aja sekalian di sekolah kali ya, pagi buta baru pulang buat bersih-bersih." Hendra memutar otaknya untuk agenda pelarian hari ini, "atau gue nginep di hotel? Tapi, pasti mahal walaupun cuma semalam. Motel?" kemudian terbayang dengan puluhan pasangan yang juga akan menginap di tempat itu, ia bergidik ngeri, "Jangan lah, bikin pengen nanti." Ujarnya sambil mengusap-usap keningnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
Fiksi Umum12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...