Pukul 7 malam, tidak seperti biasanya, Ayahku sudah sampai di rumah. Ia hanya melihatku tanpa berkata apapun dan masuk ke dalam kamar. Aku tak memusingkan sikapnya dan kembali menonton tivi di ruang keluarga. Tak lama Ayah keluar dan kembali melakukan hal yang tak biasa. Ia duduk disampingku—sebuah tindakan yang selama ini selalu ia hindari.
Aku duduk dengan canggung karena tidak biasa berdekatan dengan Ayah. Rasanya aneh sekali, meskipun dulu sebelum Ayah dan Ibu bercerai, kami selalu duduk berdampingan seperti ini.
"Nggun, Ayah mau membahas sesuatu yang penting denganmu." Perkataan pertama Ayah membuatku terkesiap. Dengan sedikit ragu aku menatap wajahnya yang semakin menua, namun tergurat sebuah kebahagiaan yang tak kumengerti asal muasal sebabnya.
"Tentang apa, Yah?" tanyaku tak terlalu penasaran.
"Tiga bulan lagi, Ayah akan menikah."
Bak sebuah petir yang tiba-tiba menyambar ubun-ubun, mendengar berita itu membuatku terkejut setengah mati. Menikah? Ayah?
"Ayah. . . mau menikah dengan siapa?" aku terdengar gagap.
"Meta. Perempuan yang datang kesini kemarin malam. Kamu juga sudah melihatnya. Dia cantik, kan?" Ayah melebarkan senyumnya, seolah berpikir aku akan sesenang dan sependapat dengannya.
Untukku, mungkin melalui paras dia memang cantik, tapi untuk sosok Ayah yang sudah pernah menjalani sebuah pernikahan yang gagal, kupikir bukan hanya kecantikan yang dia perlukan saat ini. Melainkan seorang perempuan baik-baik yang akan merawat, merubah dan mengarahkannya menjadi sosok yang lebih baik. Tapi, kemarin aku tidak melihat itu pada sosok bernama Meta. Rautnya terlihat picik, bahkan dia memberikanku senyuman sinis saat Ayah mengusirku dari rumah.
"Ayah sudah berapa lama menjalin hubungan sama perempuan itu?" tanyaku.
"Namanya Meta. Aku enggak suka kamu menyebutnya dengan 'perempuan itu'." Tegur Ayah.
Aku diam. Tak mau melakukan perbaikan dengan pertanyaanku seperti yang dikatakan oleh Ayah ataupun meminta maaf.
"Sudah satu bulan. Dia benar-benar hebat di ranjang dan benar-benar tahu apa yang aku inginkan darinya."
Aku bisa mendengar kekehannya. Jika itu adalah alasan utamanya untuk menikahi Meta, aku rasa itu sangat menjijikan—setidaknya itulah yang anak SMA sepertiku pikirkan. Apa tidak ada alasan positif lainnya yang membuat Ayah memilih perempuan itu untuk dinikahi? Hebat diranjang? Apa maksudnya itu?, "Ayah. . . apa dia seorang single, atau pernah menikah juga seperti Ayah?" aku melanjutkan pertanyaan.
"Dia pernah menikah tiga kali dan rata-rata berakhir setahun kemudian."
Aku semakin terkejut mendengar riwayat perempuan itu. Tapi, kenapa Ayah seolah tak memedulikannya dan mengatakannya dengan nada seolah pengalaman itu bukan masalah yang penting. "Kenapa dia sering menikah dan pernikahannya singkat sekali?" tanyaku penuh curiga.
Tiba-tiba Ayah menghela nafas panjang, "Itu karena. . . semua laki-laki yang dinikahinya adalah cecunguk bodoh yang sama sekali tidak berguna. Mereka enggak bisa memenuhi keinginannya, memenuhi kebutuhan lahir dan batinnya. . terutama batinnya." Sekarang ia tertawa sendiri.
Aku kembali jijik tiap kali Ayah berkata ke hal-hal yang menurutku masih tabu untuk didengar anak seusiaku. "Sekarang umurnya berapa?"
"Tiga puluh delapan tahun." Ia menatapku dengan sorot takjub, "apa kamu bisa mengira kalau umur aslinya segitu. . . ketika pertama bertemu, kupikir dia masih diakhir dua puluhan tahun. Kulitnya masih kencang dengan wajah yang baby face."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
General Fiction12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...