Gendhis menatap penuh harap pada Hendra. Ia mengira kali ini akhirnya laki-laki itu mengakui kebenaran atas apa yang diucapkannya barusan. Mengakui jika Hendra masih mencintainya, meski masih dirundung ketakutan akan masa lalu menyakitkan yang pernah dialami keduanya. Mengakui jika Hendra belum menemukan gadis yang dicintai layaknya Gendhis karena memang tidak ada yang pantas menggantikan posisinya. Mengakui jika perasaannya masih hanya untuk Gendhis.
"Mungkin..." Hendra menggantung perkataannya, "gue pernah berpikir seperti apa yang lu ucapkan barusan. Gue pernah mengira enggak akan bisa jatuh cinta lagi setelah berpisah dari lu. Gue pernah berpikir untuk enggak lagi membuka hati karena masih terbayang dengan kenangan yang pernah kita lalui. Tapi... itu dulu."
Gendhis tercekat dengan kalimat akhir yang diucapkan oleh Hendra. Pengakuan yang tak pernah diharapkannya.
"...semua pikiran gue berubah seiring menjaga jarak dan komunikasi sama lu. Pemikiran gue berubah ketika banyak kenyataan menarik dan indah lainnya muncul, selain hanya pernah menjalin hubungan sama lu di masa lalu. Dan setelah gue lihat semua kelakuan lu, gue semakin yakin... bukan lu yang gue inginkan." Suara Hendra merendah namun tidak sinis. Ia mengatakan semua itu dengan tenang. "gue enggak tahu sebegitu dalamnya lu memperhatikan gue, tapi... semua udah berubah, Ndhis. Kembali sama lu, bukan lagi hal yang gue inginkan."
"Hal indah apa yang lu temuin, Ndra selain pernah bersama gue? Apa karena perempuan itu? murid lu? Lu jatuh cinta sama dia? Iya ?!"
Hendra tak memberikan jawaban selain hanya memghindar dari tatapan Gendhis.
"Menjijikan ! lu jatuh cinta sama murid lu sendiri?! Iya, pasti begitu, kan?! apa lu pantas disebut sebagai seorang guru, hah? Lu ngajar dengan membawa perasaan seperti itu di hadapan murid lu?!"
"Terserah lu mau nuduh gue apapun, karena lu enggak akan pernah terima jawaban gue."
"Bohong ! Bohong ! semua jawaban lu emang cuma kebohongan, Hend!" sikap Gendhis mulai brutal dengan memukul-mukulkan tangannya pada badan Hendra. Yang dipukuli hanya bergeming, menunggu perempuan itu berhenti dengan sendirinya.
"Yang jelas, gue udah tahu apa yang mau gue lakuin, Ndhis. Bukan hanya berputar dalam percintaan, tapi gue benar-benar mau menata kehidupan gue buat diri gue sendiri." Kini Hendra memegangi dua tangan Gendhis yang melemas setelah memukulinya. Perempuan Itu menangis sejadi-jadinya dengan berlutut. "lu yang paling paham keadaan gue setelah berpisah dari lu, karena itu gue harap lu mengerti kalau gue sungguh-sungguh mau menata kehidupan gue selain hanya untuk menjalin cinta dengan seseorang."
Tangisan Gendhis semakin menjadi. Air mata dengan derasnya turun mengaliri pipi putihnya. Sebenarnya, Hendra mulai tak tega namun berusaha menguatkan diri agar kali ini Gendhis merasakan ketegasan dari setiap perkataannya.
"Lu pantas mendapatkan yang lebih baik dari gue, Ndhis. Gue yakin di luar sana akan ada laki-laki yang lebih setia dan mau menemani sampai akhir hayat lu, tapi bukan gue." Hendra menambahkan. Laki-laki itu mensejajarkan tubuhnya dengan berjongkok dan menepuk-nepuk pelan pundak Gendhis agar ia berhenti menangis dan mampu menguatkan diri. "...kita akhiri semua hal yang melelahkan ini, Ndhis," Ujarnya, "...sebaiknya lu pulang dan mengistirahatkan diri.
Gendhis perlahan berdiri masih dengan kepala tertunduk lesu. Air mata masih keluar, membuat kedua matanya bengkak. "Antar gue pulang, Hend. Gue enggak bisa berkendara dengan kondisi kayak gini." Pintanya dengan suara kecil.
"Gue bisa carikan taksi atau transportasi online. Untuk mobil lu, lu bisa kan hubungi salah satu pelayan di rumah lu buat ambil?" Hendra berkata dengan hati-hati kali ini.
"Lu bahkan enggak mau antar gue buat terakhir kalinya, Hend?" tanya Gendhis dengan suara merana.
"Seperti lu, gue juga harus segera mengistirahatkan diri." Hendra memberi pengakuan, "gue akan carikan taksi. Lu tunggu di sini dan hubungi pelayan lu buat ambil mobil, ya. Jangan ke mana-mana." Pintanya dengan tulus.

KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
Ficción General12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...