III

3.4K 179 2
                                    

Aku sedang dalam perjalanan menuju Family's Resto, yang letaknya 5km dari area sekolah. Begitu sampai di pelataran restoran, aku berhenti sejenak kala melihat seorang anak perempuan berumur sekitar 7 tahun menangis karena toping es krimnya tak sengaja jatuh ke jalan, akibat tersandung batu kecil. Anak kecil itu bersama Ayah dan Ibunya, yang kini sedang berusaha ditenangkan agar berhenti menangis. Sang Ibu beberapa kali menunjuk ke arah batu dan menyalahkannya, sedangkan sang Ayah memberikan janji segera membelikan es krim baru.

Entah kenapa, hatiku menghangat melihat keakraban keluarga itu. Aku ingat, dulu pernah menerima perhatian seperti itu saat Ayah dan Ibu masih tinggal bersama. Perhatian mereka terhadapku sangat besar, karena posisiku sebagai anak tunggal. Hingga kemudian, ketika aku menginjak umur 12 tahun, Ayah dan Ibu mulai sering bertengkar hebat. Umur 13 tahun, secara bergantian Ayah dan Ibu tak pulang ke rumah. Umur 14, aku melihat Ibu sering diantar oleh lelaki paruh baya yang tak pernah kukenali sebelumnya. Mereka saling bertukar kecupan di kening sedangkan Ayah mulai sering pulang pagi, dan selalu dalam keadaan mabuk. Umur 15, adalah puncak kekacauan tersebut. Ibu mengakui tak bisa lagi hidup bersama dengan Ayah. Ia mencintai orang lain, dan merasa seharusnya ia hidup bersama dengan pria itu, bukannya dengan Ayah. Lalu, keduanya sepakat memutuskan berpisah tanpa menanyakan pendapatku.

Aku sadar sudah terlalu lama termangu, ketika keluarga dihadapanku itu sudah berjalan menjauh. Buru-buru kulangkahkan kakiku masuk ke dalam restoran yang sudah ramai dengan pengunjung. Didalam aku disambut dengan tatapan sinis manajer yang sedang berdiri dekat mesin kasir. Ia melihat angka pada jam yang terpasang ditangan kirinya.

"Kamu terlambat 5 menit." Katanya dengan ketus.

"Maaf, tadi jam pulang sekolah agak terlambat." Aku berbohong agar selamat dari omelan dan hukuman berupa pemotongan gaji.

"Cepat ganti baju, dan layani pelanggan yang datang." Perintahnya.

Aku mengangguk kemudian buru-buru pergi menuju ruang ganti. Aku sempat mendengar sambutan ramah keluar dari mulut Mbak Sonia ketika dua pelanggan baru, nampaknya sepasang kekasih, masuk ke dalam restoran.

Aku menghabiskan waktu 5 menit untuk berganti pakaian dan buru-buru berbaur dengan pelayan lain di dapur untuk membantu membawakan pesanan pelanggan. Mengabaikan rasa sakit kepala yang masih belum hilang, aku memusatkan seluruh konsentrasi dan tenaga pada pekerjaanku hari ini.

Kulemparkan senyum dan sambutan ramah pada setiap pelanggan yang akan makan ataupun yang baru datang. Aku mondar mondar menghampiri pelanggan yang memanggilku untuk menanyakan menu atau sekedar memberikan sendok atau garpu baru, yang sebelumnya tak sengaja dijatuhkan oleh pelanggan. Lalu, mengambil piring serta gelas yang telah kosong dan meletakkannya di dapur. Saat semua pesanan sudah diantar, aku ikut membantu mencuci piring agar bisa segera digunakan kembali.

Kegiatan sibuk itu membuatku tak hanya merasakan pusing, melainkan rasa sakit di pinggang dan pegal di kedua kaki dan tanganku. Keringat dingin mulai mengucur dari kening yang kemudian menyusup kedalam pakaian di tubuhku. Kedua mataku terasa lengket karena kurang tidur, beberapa kali aku meneteskan obat mata, agar tidak terlihat merah dan menakuti pelanggan yang melihatku.

***

Aku tiba di depan pintu rumah pukul 1 malam. Suhu tubuhku terasa meningkat dan bisa merasakan udara panas keluar melalui dua lubang dihidungku. Aku mengantuk dan lelah. Setelah pintu terbuka, aku terhenyak melihat keadaan rumah yang begitu berantakan. Kulit kacang serta abu rokok bertebaran di meja tamu serta lantai. Botol-botol minuman kosong juga ada disana. Jumlahnya 5 buah. Aku berpikir, nampaknya ini adalah hasil dari kedatangan teman-teman Ayahku tadi pagi.

Aku masuk ke dalam rumah dengan lemah. Dengan tubuh yang sudah lelah ini, aku masih harus membereskan rumah. Tas kuletakkan diatas buffet, lalu segera kuambil penyedot debu untuk membersihkan kulit-kulit kacang dan abu rokok. Membuang botol-botol kosong ke tempat sampah. Kutebahi sofa-sofa dengan sapu lidi kemudian lantainya kusapu kembali dan pel.

Jam dua, aku baru bisa masuk ke dalam kamar. Aku bernafas lega kala sudah bisa merebahkan tubuhku ke atas kasur. Aku menggeliat ke kiri dan ke kanan, mencari posisi yang enak. Lalu, aku teringat belum melepaskan seragamku. Aku kembali terbangun dan menggantinya dengan celana ketat hitam pendek dan kaos oblong berwarna putih.

Biasanya, sehabis pulang bekerja, aku akan menyempatkan diri untuk belajar selama satu jam, namun kali ini tidak. Aku merasa otakku sudah tak lagi bisa diajak berkonsentrasi lebih lama. Aku butuh tidur.

Suasana yang begitu sunyi, menenangkan hatiku. Bersama dengan guling dalam pelukan, keduanya mengantarkanku dalam damainya kegelapan. Tidur pulas merupakan anugerah terbesar yang Tuhan berikan untukku. "Selamat malam Anggun, terima kasih karena hari ini juga sudah bekerja keras." Kalimat-kalimat itu biasa aku ucapkan sebagai penyemangat untuk diriku sendiri, karena aku tahu tak akan ada seorang pun mengucapkan hal yang sama untukku.


Alone (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang