XXXIX

1K 51 2
                                    



Satu hari yang melelahkan akhirnya berlalu. Satu persatu pengunjung mulai meninggalkan restoran dengan wajah senang karena mendapatkan pelayanan yang baik serta menu yang memuaskan lidah mereka. Para pegawai restoran terlihat beristirahat di bangku-bangku yang sebelumnya digunakan oleh para pengunjung. Sang penjaga kasir terlebih dahulu menutup pintu dan memasangkan tanda pemberitahuan kalau restoran telah ditutup.

Aku yang ingat harus segera pulang pun bergegas berganti pakaian di ruang ganti. Setelah selesai, aku berpamitan dengan teman-teman.

"Lho, Nggun.. kamu langsung pulang?" tanya Mbak Sonia yang baru masuk dengan membawa berkotak-kotak pizza di tangannya.

"Iya, Mbak. Takut kemalaman sampai rumah."

"Yah, tapi Mbak baru aja pesan pizza buat di makan bareng-bareng. Kamu juga pasti belum makan, kan dari pulang sekolah? ikut makan dulu, yuk sebentar."

"Maaf, Mbak bukan maksud aku nolak buat makan bareng tapi aku harus sampe kos-an, soalnya di sana ada jam malam." Jawabku dengan rasa penuh penyesalan.

Mbak Sonia mengerucutkan bibirnya menandakan kecewa. Ia beralih melirik pada kotak-kotak pizza di kedua tangannya. Entah apa yang dipikirkannya, namun ia meletakkan kotak-kotak itu di meja kasir kemudian membuka ikatannya.

"Kalau gitu, kamu bawa satu, nih." Ujar Mbak Sonia dengan menyodorkan satu kotak pizza padaku.

"Eh? Jangan Mbak, enggak usah. Itu buat di makan sama teman-teman aja."

"Masih banyak pizzanya dan cukup kok buat anak-anak. Ini emang pizza ekstra yang dikasih sama tokonya karena Mbak beli banyak. Bawa, nih." Ia masih memaksa menyodorkan pizza tersebut.

Mau tidak mau akhirnya aku tetap menerima tawaran itu dengan perasaan berterima kasih meski juga tak enak karena sekali lagi merepotkan atasanku, "Makasih banyak ya, Mbak."

"Iya. Ya udah, kamu boleh pulang. Hati-hati di jalan, ya."

"Iya, Mbak." aku berjalan keluar. Di luar restoran aku tak bisa menyembunyikan senyum karena mengetahui malam ini perutku akan terisi makanan selain mie instan, meski pizza juga bukanlah makanan yang sehat.

Namun senyumku tak terpatri di bibir terlalu lama saat teringat dengan kejadian pagi tadi. Apa yang harus kulakukan untuk menghadapi seorang Gendhis yang sedang terbakar api cemburu? Dikatakan hal yang paling benar sekalipun pasti dia tidak akan menerimanya. Aku menghela nafas panjang seraya menyesali kepasrahanku terdahulu saat mau saja disuruh tinggal di rumah Pak Hendra. Kalau saja aku tahu laki-laki itu memiliki mantan kekasih yang sifatnya keras kepala, cemburuan luar biasa, serta sangat tergila-gila dengan Pak Hendra sampai-sampai melakukan apapun demi mendapatkan lagi hati wali kelasku itu, tentulah aku akan berpikir berpuluh-puluh kali untuk tinggal di sana. Tinggal sementara di restoran justru jauh lebih baik dibanding di sana yang akhirnya malah memasukkanku ke dalam masalah yang rumit.

"DUG !" 

Saat tengah tenggelam dalam penyesalan, tiba-tiba ada sesuatu yang telah menabrakku dengan keras dari arah belakang, hingga membuatku hampir terjerembab di atas tanah kalau saja tak bisa membuat pertahanan dengan kedua kakiku. Aku segera menoleh ke belakang dengan rasa kesal dan ingin tahu siapa atau apa yang telah menabrakku.

"Ah ! Sorry sorry, saya enggak senga..." Ucapan permintaan maaf itu terputus di akhir kalimat saat orang yang menabrakku melihat wajahku, "...ja."

Aku yang tadinya ingin menegur pun ikut kaget saat mengetahui identitas sang pelaku penabrakan. Dia seorang perempuan. Perempuan yang beberapa minggu lalu menikahi ay—ah... ah bukan, maksudku mantan ayah.

Alone (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang