Keesokan paginya, pukul 6, seperti biasa aku sudah bersiap akan pergi ke sekolah. Aku sendirian di rumah, karena Ayahku lagi-lagi tidak pulang dan belum juga memberi kabar. Seusai sarapan mie instan dan mencuci piring serta gelas yang kugunakan, aku bergegas memakai sepatu dan pergi keluar.
Aku berpapasan dengan beberapa tetangga yang tinggal di sebelah rumah Ayah. Tak ada sapaan melainkan hanya senyuman yang dipaksakan. Lingkungan di rumah susun ini memang berbeda dengan lingkungan rumah biasa. Warganya jarang keluar dan bersosialisasi. Karena para penghuni yang menempati rusun di lantai 4 ini adalah karyawan yang masih single. Sehingga mereka hanya akan terlihat di pagi hari ketika mau bekerja dan baru pulang saat matahari telah tenggelam.
Saat telah sampai di lantai dasar, aku melihat sosok yang kukenal. Ayah berjalan limbung menuju anak tangga. Sepertinya, dia masih dalam pengaruh alkohol.
"Ayah?" panggilanku membuat Ayah menatapku dengan kedua mata yang memerah.
Ia tersenyum sinis, lalu kembali jalan hendak melewatiku. Saat berpapasan, aku bisa mencium bau alkohol dan keringat menguar dari kulit tubuhnya.
"Ayah, kemana aja selama dua hari ini? Kenapa enggak mengabariku kalau tidak akan pulang?" tanyaku.
Ayah mengangkat sebelah tangannya kehadapan wajahku, kemudian melirikku, "kamu. . . fokus belajar aja sana." Suaranya terdengar bergetar. Lalu memberi gerakan tangan seperti mengusir. Sambil berpegangan pada besi, Ayah melangkah ke atas.
Tak ada lagi yang bisa kukatakan selain menuruti perkataannya. Toh, kejadian ini bukanlah yang pertama kalinya. Aku pun melangkah keluar dari pelataran rumah susun.
***
Pada jam istirahat, aku dipanggil Pak Hendra ke ruangannya. Jani terlihat khawatir karena mengira aku sudah membuat masalah saat ia tidak masuk kemarin. Membuatku harus berulang kali meyakinkannya kalau tidak ada hal buruk yang terjadi selama dia tidak masuk sekolah. Tapi, aku juga tidak tahu alasan beliau tiba-tiba memanggilku. Aku berharap semoga Pak Hendra tidak akan membahas soal pekerjaanku.
Pak Hendra adalah seorang wali kelas serta mengajara dibidang Bahasa Indonesia di sekolahku. Ia adalah guru termuda dengan umurnya yang masih 24 tahun. Parasnya bisa dibilang tampan. Tubuhnya tinggi, mungkin sekitar 180 cm. Kulitnya kuning langsat, dua matanya begitu jernih dengan bola berwarna cokelat terang. Bibirnya tipis. Ada setitik tahi lalat tertempel permanen pada sudut bibir kirinya namun tak begitu terlihat jika bukan dari jarak yang dekat. Ia tidak gemuk tapi juga tidak kurus. Dengan paras seperti itu, banyak murid-murid perempuan yang membicarakannya, mengaku menyukainya, dan menganggap Pak Hendra adalah tipe pacar ideal. Tampan, tinggi, muda, pintar dan bijaksana.
Aku sudah sampai didepan ruang guru. Menghampiri salah satu bidang yang diisi oleh Pak Hendra, yang disekat dengan partitur supaya membatasi dengan bidang-bidang yang ditempati guru-guru lain.
"Bapak manggil saya?" pertanyaanku menginterupsinya dari layar komputer.
"Ikut saya ke ruang Bu Silvi." Perintahnya yang kemudian berdiri dari tempat duduknya. Langkahnya mengarah pada satu ruangan tertutup, yang biasanya digunakan oleh Bu Silvi, guru konseling kami, untuk menginterogasi atau menasehati murid-murid bermasalah. Aku mengikuti Pak Hendra dari belakang.
Hari itu Bu Silvi tidak datang karena harus menghadiri seminar bimbingan konseling bersama guru-guru berprofesi sama dari sekolah lain, perwakilan seluruh Jakarta Selatan. Sehingga, ruangannya kosong dan kini kursinya sudah diduduki oleh Pak Hendra.
"Tutup pintunya, Gun." Pinta Pak Hendra yang langsung kuturuti. Kemudian dia mempersilakanku mengisi kursi dihadapannya. Jarak kami dibatasi dengan meja beralas kaca tebal berukuran 2 x 2 meter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
General Fiction12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...