*warning : part ini berisi kalimat-kalimat emosional. Mohon kebijakan pembaca untuk tidak menerapkan kalimat-kalimat dalam part dibawah dan menganggap ini hanyalah hiburan semata ^^
---------------------------------------------------------------------------------------
Aku baru sampai di rumah pukul 12 malam lewat 30 menit. Sepanjang perjalanan aku sudah bertekad akan menyatakan ketidaksukaanku atas tindakannya memintaku membayar seluruh makanannya dan Meta. Jika saja hari ini dia hanya seorang diri, aku bisa memaklumi dan memaafkannya. Tapi, tadi dia sengaja datang untuk berkencan dengan calon istrinya itu, kan? Seandainya dia tidak tahu kalau aku bekerja disana, dia tidak mungkin melakukan hal yang sama. Sungguh, ini sangat menyakiti hatiku. Disaat kemarin, dia memintaku untuk segera pergi dari rumahnya demi perempuan itu, tapi sekarang justru dia memanfaatkan keberadaanku demi Meta.
Kini aku melihat pria paruh baya itu sedang duduk menonton acara bola kesukaannya dengan sekaleng bir ditangan. Aku masuk ke dalam kamar untuk meletakkan tas dan kembali keluar. Berdiri dihadapannya hingga fokusnya dari tontonan terganggu. Ia menampilkan raut kesal dan mendorongku ke samping supaya bisa kembali menonton acara bolanya. Akhirnya, aku memilih mendekati televisi dan mematikannya.
"Anggun ! Kamu ngapain, sih!? Kenapa dimatiin, kamu enggak lihat Ayah lagi nonton!?" ia setengah berteriak.
"Aku mau ngomong sama Ayah." Kataku tak gentar dengan suara dan rautnya.
"Aku enggak mau ngomong apapun sekarang, cepat nyalakan lagi tv-nya dan minggir dari sana !" perintahnya.
"Kenapa Ayah melakukan itu padaku?" tanyaku tak mempedulikan perintahnya.
"Apa maksud kamu?"
"Kenapa Ayah memintaku membayar semua makanan itu?" aku melanjutkan.
Ia tersenyum sinis, "Cuma gara-gara itu kamu kehilangan manner sama orangtua dan mematikan tv yang lagi ditonton Ayah? Sikapmu sungguh kekanak-kanakkan." Kata-katanya terasa merendahkan.
"Ayah yang kekanak-kanakkan!" aku membentaknya. Tak peduli jika suara itu terdengar oleh tetangga sekitar dan datang menegurku, yang jelas aku cukup puas melihat wajah terkejut dari Ayah. Ini adalah pertama kalinya aku membentaknya.
"Ayah datang dengan perempuan itu ke restoran untuk berkencan, datang dan memesan makanan layaknya orang banyak uang, tapi ujungnya memintaku untuk membayar. Ayah memperalatku seenaknya hanya karena aku pelayan disana!? Atau karena aku anak Ayah makanya tidak apa-apa memperlakukanku seperti itu!?" suaraku semakin tinggi.
Ia mendecak sebal, "Jadi, kamu enggak mau membayari makanan Ayahmu sendiri?" tanyanya.
"Aku enggak mau membayar makanan yang kalian makan. Apalagi, perempuan itu!" aku menegaskan.
Dalam sekejap Ayah melempar kaleng birnya yang masih terisi setengah ke arahku, dan membuat isinya mengenai wajah dan bajuku, serta kini menggelinding berceceran di atas lantai. "Berhenti menyebut Meta, dengan kata 'perempuan itu' ! Dia punya nama dan dia adalah calon istriku ! Kamu harus menghormatinya." kini gilirannya yang membentakku.
Aku tak bergeming dari tempatku berdiri dan masih menatapnya dengan tajam. Aku benar-benar sudah tidak bisa menahan emosi yang memenuhi hati dan pikiranku. Aku akan mengeluarkan segala hal yang ingin kukatakan selama ini pada Ayah. Aku benar-benar sudah muak dengannya. "Aku akan terus mengatakannya, dan aku enggak peduli apakah Ayah suka atau enggak." Kataku menantang, "selama ini Ayah enggak pernah mendengarkanku, mengambil tindakan seenaknya dan memutuskan sesuatu tanpa mempedulikanku. Aku benar-benar enggak bisa menahan semua perlakuan Ayah! Kenapa Ayah memaksaku membayar makanan itu saat jelas-jelas Ayah mengusirku dari sini demi perempuan itu!? Apa Ayah lupa dengan semua hal yang dikatakan kemarin malam atau . . . Ayah udah enggak punya urat malu untuk masih bergantung denganku?" Kini aku bisa melihat nafasnya yang semakin cepat, menandakan ia sudah berada di puncak emosi yang sama.
"Kamu...cuma karena membayar makananku, jadi berani mengejekku seperti ini?!" nada suaranya semakin tinggi, "Kamu lupa siapa yang memberikanmu tempat tinggal, hah!? Siapa yang menerimamu saat Ibumu memintamu pergi dari kehidupannya, kamu lupa semua kebaikanku!?"
"Jadi, Ayah bangga cuma karena dua hal itu?" tanyaku penuh nada sinis, "biar aku beri tahu supaya Ayah enggak memandang diri terlalu tinggi. . . " aku tak peduli lagi dengan semua kata menyakitkan yang mungkin akan keluar dari mulutku malam ini. "Aku memang sempat bersyukur karena Ayah mau menerimaku. . . walau karena terpaksa, tapi perlahan aku juga tahu hidup sama Ayah enggak ada bedanya saat aku masih tinggal bersama Ibu. Ayah sama aja kayak Ibu yang cuma mementingkan diri sendiri. Ayah memang memberiku tempat tinggal tapi cuma itu, Ayah enggak peduli dengan apa yang benar-benar kubutuhkan. Ayah bukan orangtua yang lebih baik dari Ibu." Tak ada tanggapan dari Ayah, ia terlihat syok mendengar kata-kataku. "Tapi, dibanding Ibu . . . ada satu hal yang membuatku tahu kalau Ayah lebih buruk dibanding Ibu. Ibu masih mau memberikan uang meski sangat sedikit. Ibu tidak pernah meminta uang dariku apalagi dari jerih payahku sendiri dan Ibu . . . tidak pernah diam-diam memperalatku untuk membayari sesuatu yang dia dan kekasihnya gunakan."
Ayah menyeringai lalu terkekeh, "Kalau begitu menurutmu, kenapa enggak sekarang juga kamu angkat kaki dari sini, hah!? Kembali aja sana ke Ibumu, yang lebih baik dariku ! Kita lihat apa dia masih mau menerimamu."
Aku menggeleng perlahan, "Aku enggak akan kembali kepada salah satu dari kalian, karena aku tahu baik Ayah atau Ibu adalah orangtua yang enggak pantas disebut orangtua."
'Plak !'
Aku merasakan panas dan nyeri di bagian wajah kananku. Ayah telah mendaratkan tamparannya yang menyakitkan malam ini dan aku akan mengingatnya seumur hidupku.
"Aku ingin kamu cepat pergi dari sini. Aku enggak mau lagi melihat wajahmu." Kata Ayah dengan geram.
Aku menegakkan kepala, lalu mengangguk, "Ayah enggak usah khawatir, secepatnya aku akan pergi karena aku juga enggak tahan sama sifat Ayah. Aku sama muaknya dengan Ayah !"
Ayah kembali mendaratkan tamparan keras di bagian pipi yang sama. Membuatku semakin terhuyung. "Kamu benar-benar anak yang enggak tahu diuntung ! Sudah dilahirkan, dan dibesarkan sampai sekarang tapi berani-beraninya bersikap buruk dihadapanku !"
Aku menegakkan kepala dengan cepat. Dalam pikiran, aku bertekad akan benar-benar menyelesaikan ini. "Omong kosong !" teriakan serak keluar dari mulutku. "Aku bukan anak yang beruntung ! Aku anak yang menyedihkan !"aku bisa melihat dua mata Ayah melebar melihat reaksiku, "Kalau aku tahu akan ditelantarkan seperti ini aku akan protes untuk dilahirkan ! Aku akan memilih keluarga lain yang lebih menyayangiku ! Menghargai keberadaanku ! Aku menyesal dilahirkan oleh kalian yang hanya membawa kesedihan dalam kehidupanku ! Apa salahku !? Apa salahku sampai aku harus diperlakukan seperti ini !? Katakan yang jelas, Ayah ! apa salahku !?" Tubuh Ayah terlihat bergerak mundur menjauhiku, "Asal Ayah tahu, aku . . ." telapak kiri kukepalkan dan kuhantamkan ke dada, "sekarang hanya anak yang berasal dari benih kebencian kalian. Gara-gara kalian, aku menganggap kehidupan ini enggak akan pernah berlaku adil padaku." Ayah masih tak memberikan tanggapan apapun—kedua matanya menyiratkan ketakutan yang tak tersampaikan oleh mulutnya. Aku berjalan mendekatinya. "Kemarin Ayah ingin aku melupakan Ayah, kan? Memutuskan ikatan orangtua dan anak. Ayah mau aku menjalani kehidupan yang lebih baik?" aku menggeleng pelan, "aku akan menjalani hidup yang baik, tapi enggak buat kalian. Aku berharap suatu hari nanti kalian akan sadar kesalahan besar apa yang sudah Ayah dan Ibu lakukan padaku. . . menerima karma. Lalu, saat kalian berpikir ingin memperbaiki semuanya denganku. . . aku ingatkan, jangan pernah berharap itu akan terjadi dalam hidup kalian." Diam-diam aku merasa kaget dengan ancaman yang terucap untuknya. Namun, aku tak bisa lagi menarik kata-kata itu kemudian memilih bergerak menuju kamar.
"Aku ingin kamu pergi dari sini besok ! Besok malam aku enggak mau lagi melihat wajahmu." Kata Ayah tanpa menghadapkan tubuhnya padaku."Jangan bawa benda-benda yang bukan milikmu di kamar itu... kamu tahu benda-benda yang kumaksud." Lanjutnya.
Aku melanjutkan langkah masuk ke dalam kamar. Sengaja membanting pintu supaya Ayah tahu aku tidak takut dengan perkataannya barusan. Aku akan menuruti kemauannya. Besok, aku akan meninggalkan kamar ini dan mencari tempat tinggal lain meskipun aku belum tahu tempat pastinya. Dibanding tidur, aku pun memilih mengemasi barang-barang yang akan kubawa ke tempat tinggal baru.
8бb

KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
Fiksi Umum12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...