XXVII

1.4K 76 2
                                    


17 jam berlalu sejak aku pergi meninggalkan rumah. Hari yang telah berubah malam menghantarkan udara dingin akibat hujan deras yang mengguyur beberapa saat lalu. Aku berinisiatif untuk menyalakan ponsel karena ingin mengecek kalau-kalau ada pesan yang masuk. Dan benar saja, tak sampai satu menit beberapa pesan berjejer muncul pada layar yang sebagian besarnya dikirimkan oleh operator kartu ponselku. Kubuka salah satunya, dan membaca sebuah pemberitahuan kalau nomor Pak Hendra telah berusaha menghubungiku. Pesan-pesan lainnya yang juga dikirimkan oleh operatur kartu ponselku berisikan pesan yang sama. Pak Hendra telah menghubungiku berulang kali sejak tadi pagi. Kutelusuri pesan lainnya, dan menemukan dua pesan yang dikirimkan oleh Pak Hendra.

'Anggun, kamu di mana sekarang? Kenapa pergi enggak mengabari saya?' begitu isi pesan pertama. Jariku bergerak ke pesan berikutnya, 'Nomor kamu enggak bisa dihubungi, dimatikan? Kalau kamu baca pesan ini, segera telepon saya !'

Dahiku mengernyit melihat tanda seru yang menyertai pesannya. Mengira-ngira perasaan apa yang ingin disampaikannya. Marah ? Sudah pasti. Tapi... ada 10 pesan dari operator mengabariku kalau nomor wali kelasku itu mencoba menghubungiku. Mungkinkah, ia tak hanya marah melainkan juga khawatir dengan keadaanku?

Tanganku bergerak memainkan ponsel. Menimbang-nimbang apakah aku harus menghubunginya dulu untuk menjelaskan kepergianku dan minta maaf atau nanti saja saat telah sampai di rumah. Sopankah jika aku memilih keputusan yang ke dua?

'Drrt drrt drrt!' aku terkejut saat merasakan ponsel di tangan bergetar keras. Kulihat nomor Pak Hendra terpampang di layar. Ia meneleponku lagi. Aku terdiam beberapa saat karena merasa agak takut untuk mengangkatnya. Mungkin karena terlalu lama tak segera kuangkat, panggilan dari dirinya pun berhenti. Karena merasa belum siap untuk menghadapinya sekarang, jadi kupikir ada baiknya bicara dengannya saat telah sampai di rumah.

'Drrt drrt drrt !' ponselku kembali bergetar dan lagi-lagi Pak Hendra lah yang menghubungiku. Kali ini, aku merasa tak enak jika sekali lagi tidak mengangkatnya.

"Halo?" nadaku sedikit gemetar akibat dinginnya udara dan pakaianku yang sedikit basah karena berlarian mencari tempat teduh.

"Anggun, kamu pergi ke mana? Kenapa baru sekarang, ponsel kamu aktif?" cecar Pak Hendra dengan nada agak tinggi.

Aku tak langsung menjawab karena memikirkan jawaban yang sekiranya bisa diterima oleh wali kelasku itu.

"Anggun? Kamu enggak apa-apa, kan?" suara Pak Hendra berubah melembut cenderung menyiratkan kekhawatiran.

"Saya... enggak apa-apa."

"Benar?" tanyanya lagi.

"Iya." Aku menjeda untuk menelan ludah, "maaf...." Sungguh, sebenarnya begitu banyak kalimat yang ingin kukatakan namun entah bagaimana aku merasa tak sanggup dan hanya kata 'maaf' yang keluar.

"Kamu di mana?" tanyanya, yang bisa kupastikan ia berusaha bersabar.

"Saya . . ." perasaan ragu mengisi relung hatiku untuk berkata jujur, membuatku tak dapat menjawab dengan segera.

"Apa kamu akan pulang?" tanyanya lagi.

"Iya."

"Oke. Mau saya jemput sekarang?" tanyanya lagi.

"Enggak perlu, Pak." Jawabku. Aku cukup sadar diri untuk tak semudah itu menerima tawarannya sedangkan seharian ini ia pasti cemas dan kesal padaku. Komunikasi kembali terjeda cukup lama. Aku tak tahu apa yang saat ini Pak Hendra pikirkan tentang penolakanku. "Saya segera pulang."

"Oke, hati-hati di jalan. Saya tunggu kamu di rumah." Jawabnya dengan nada yang kali ini terdengar dingin.

"Iya, Pak." Aku menutup percakapan. Kemudian segera keluar dari teras warung kecil, tempat yang kujadikan sebagai tempat berteduh sambil meminum segelas teh hangat. Kedua kakiku melangkah menuju stasiun berjarak 500 meter. Pilihanku jatuh pada armada transportasi kereta api tersebut karena jika memakai bus tentu akan memakan waktu yang lama untuk sampai ke rumah akibat kemacetan yang terjadi setelah hujan berhenti.

***

Waktu menunjukkan hampir jam setengah 10 malam, namun Hendra belum juga melihat batang hidung anak didiknya muncul di jalanan area rumahnya. Ia bergerak mondar mandir menyiratkan kekhawatiran dengan sesekali mengintip dari celah tirai. Supaya jika melihat Anggun, dia bisa langsung membukakan pintu.

"Sebenarnya dia pergi sejauh apa, sih? Sampe jam segini masih belum sampai." Gumamnya, "apa gue telepon lagi aja?" tangannya segera meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Jari-jarinya mulai bergerak mencari nomor anak didiknya itu, lalu menekan nomor yang dicarinya. Nada sambung terhubung dan tak seperti sebelumnya, si pemilik nomor dengan cepat menerima panggilannya.

"Iya, Pak?" Anggun menjawab.

"Kamu udah sampai mana?" tanya Hendra tanpa berbasa basi karena terlanjur terlalu khawatir.

"Baru sampai di depan gang komplek, Pak."

"Oke." Pak Hendra segera memutus percakapan. Mengambil jaket bahan yang sedari tadi tersampir di bahu sofa, yang semula akan dikenakannya untuk menjemput Anggun saat menelepon pertama kali. Kemudian, dirinya berjalan keluar dengan membuka payungnya setelah sebelumnya mengunci pintu rumah.

Tindakannya itu hasil dari ketidaksabaran karena ingin segera bertemu dengan Anggun. Ingin tahu kondisinya. Memastikan dia baik-baik saja, dan pulang tanpa luka sedikit pun.

Beberapa saat berjalan, ia akhirnya melihat sosok yang ditunggu-tunggunya sedang berjalan ke arahnya. Ia berhenti saat melihat sikap tubuh Anggun yang tak bertenaga dan raut wajah penuh kesedihan. Membuatnya semakin bertanya-tanya hal apa lagi yang telah terjadi padanya. Anggun terus berjalan dengan kepala tertunduk sehingga tak tahu kalau Hendra sudah berdiri 10 langkah di depannya. Remaja itu baru berhenti saat sadar ada bayang-bayang kaki lain di depannya. Ia menengadahkan kepala dan merasa kaget melihat Hendra sudah berdiri seperti sengaja menunggunya.

"Pak Hendra..." ujarnya, "kenapa berdiri di sini?" tanyanya heran. Ia terlihat seperti tak terganggu dengan gerimis yang menerpa kulit dan rambutnya yang telah lepek.

Hendra tak langsung menjawab melainkan melangkah maju hendak memayungi perempuan muda yang terlihat rapuh itu. Beberapa saat mereka hanya saling bertatap—tak bicara karena sibuk dengan pemikiran masing-masing.

"Kita harus segera sampai di rumah, gerimisnya makin deras." Kata Hendra. Tangan kirinya merangkul bahu Anggun agar mendekat kearahnya supaya tubuh perempuan itu sepenuhnya dapat terpayungi. Rasa marah yang semula menguasainya agak berkurang akibat merasakan dinginnya pakaian Anggun yang sebagian besarnya basah karena terkena air hujan.

5 menit kemudian, keduanya telah sampai dan Anggun segera masuk ke dalam rumah. Kemudian, Hendra menyusul. Ia meletakkan payung basahnya di belakang pintu yang telah terkunci.

"Kamu harus buru-buru mengeringkan rambut dan berganti pakaian supaya enggak kena flu. Saya akan masak air supaya kamu bisa mandi." Hendra memberikan inisiatifnya.

Anggun memberikan gelengan lemah, "Enggak perlu, Pak. Saya langsung mandi tanpa air hangat aja."

"Tapi, mandi dengan air dingin di jam segini enggak baik buat kesehatan kamu."

"Enggak apa-apa, saya biasa mandi pakai air dingin bahkan setelah lewat jam 12 malam dan tubuh saya enggak apa-apa."

Hendra menghela nafas mendengar jawabannya. Keningnya berkerut, "Oke, tapi jangan terlalu lama. Saya khawatir kamu akan semakin cepat kena flu." Nasehatnya.

"Iya, Pak." Kemudian Anggun berbalik hendak masuk ke dalam kamar.

"Dan..." lanjutan perkataan Hendra menghentikan gerak tangan Anggun yang ingin membuka pintu kamar, "setelah selesai, saya mau bicara sama kamu. Bisa?" perintahnya dibuat seperti sebuah permohonan.

Anggun memberikan anggukan lalu lanjut melangkah masuk ke dalam kamar. Hendra beralih menuju dapur untuk membuat dua gelas teh hangat dan menghangatkan sayur sop bakso yang sebelumnya sempat ia buat ketika pulang dari restoran mencari Anggun.

Dalam aktivitasnya, ia merenungkan tindak tanduk dan raut Anggun yang membuatnya penasaran. Apa yang membuatnya pergi tanpa mengatakan apapun hari ini? Tempat apa yang telah ia kunjungi... dan apakah kesedihan yang terpancar di raut wajahnya itu akibat telah bertemu seseorang di tempat yang ia datangi hari ini? Apa mungkin sikapnya itu masih berhubungan dengan kedua orangtuanya? Salah satu tangannya berhenti mengaduk kemudian membawa dua gelas teh hangat tersebut ke atas meja dekat bangku sofa. Gelas untuk Anggun ia tutupi dengan penutup agar tidak cepat dingin sedangkan sisanya ia minum perlahan agar air yang masih agak panas itu tak melukai bibir dan lidahnya. Ia menunggu dengan sabar kemunculan Anggun dari dalam kamarnya. 

Alone (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang