Keesokan paginya, aku yang baru saja akan melangkahkan kaki ke dapur untuk memasak mie instan sebagai sarapan pagi ini harus terhenti karena mendengar pintu rumah diketuk dari luar. Khawatir kalau-kalau yang datang adalah bu Tantri, aku pun bergegas menuju ruang depan. Begitu pintu terbuka, aku melihat seorang perempuan dan laki-laki berumur 40an yang kini menatapiku dengan sorot heran.
"Kamu... siapa? Saya rasanya baru lihat muka kamu." Tanya perempuan tersebut dengan tegas.
"Oh, saya salah satu penghuni kos-an bu Tantri." Jawabku.
"Oh, kamu yang namanya Anggun, ya?"
Aku menganggukkan kepala.
"Saya Juwita, anaknya Bu Tantri." Perempuan itu mengulurkan tangannya, "dan ini suami saya, Jatmiko."
Aku menyalami keduanya kemudian mempersilakan mereka untuk masuk dan duduk. "Sebentar, saya buatkan minuman dulu. Mau teh atau kopi?"
"Enggak usah repot-repot, Nggun. Kami ke sini cuma untuk mengambil baju-baju dan beberapa barang ibu." Kata bu Juwita lagi. "Oh iya, apa Kenji ada?"
"Ada, tapi kayaknya dia masih tidur di kamar."
"Boleh minta tolong untuk dipanggilkan, karena ada beberapa hal juga yang ingin kami sampaikan kepada kalian." Aku mulai merasa was-was melihat raut kedua tamu yang semakin serius sekaligus gusar.
"Baik, tunggu sebentar, ya." Aku berbalik dan berjalan mendekati kamar Kenji.
Tok tok tok.
"Kenji..." Aku mengetuk dan memanggil namanya berulang kali hingga pintu dibukakan olehnya.
Kriettt. . .
Sosok laki-laki dengan kedua mata yang masih menutup berdiri di belakang pintu. Wajahnya kusam dan berminyak. "Kenapa, Nggun? Tumben lu bangunin gue." Katanya.
"Nji, buruan cuci muka. Ada anaknya bu Tantri datang dan mau ngomong sama kita berdua. Kayaknya ada sesuatu yang terjadi."
"Anaknya yang mana?"
"Namanya Bu Juwita sama Pak Jatmiko."
Secara spontan kedua mata Kenji terbuka lebar, "Oh, oke. Bilang tunggu sebentar, gitu. Gue cuci muka sama sikat gigi dulu."
"Oke." Sepeninggal Kenji ke dalam kamar mandi, aku kembali ke ruang tamu dan berhadapan dengan anak dan mantu bu Tantri itu. "Kenjinya lagi ke kamar mandi dulu sebentar."
"Iya, enggak apa-apa."
"Ibu sama Bapak benar enggak mau dibuatkan minum dulu?" tanyaku lagi.
"Iya, enggak usah. Kami enggak akan lama, kok karena kami mau nemenin ibu lagi di rumah." Jawab Bu Juwita.
"Bagaimana kabar bu Tantri di sana, Pak? Apa baik-baik aja?" tanyaku.
Seketika raut Pak Jatmiko dan Bu Juwita berubah sedih, "Sebenarnya, seminggu yang lalu suami ibu meninggal dunia."
Aku terkesiap mendengar berita buruk yang datang terlalu pagi itu. "Saya turut berduka cita, Bu Pak. Lalu, bagaimana keadaan bu Tantri sekarang?"
"Ibu masih bersedih dan kesehatannya agak menurun, karena itu kami enggak bisa membiarkannya pulang dengan keadaan seperti itu."
"Iya, itu keputusan yang bagus, Bu. Karena kasihan beliau jika ada di sini, enggak ada yang jaga karena mayoritas waktu kami lebih banyak di luar."
Bu Juwita memberikan anggukan. "Oh ya, kalau boleh tahu kegiatan kamu apa? Sepertinya sangat sibuk sampai-sampai saya enggak pernah melihat kamu di rumah."
![](https://img.wattpad.com/cover/122249714-288-k947570.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
General Fiction12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...