XXVI

1.5K 84 1
                                    


Keesokan paginya, Aku berangkat lebih pagi sebelum Pak Hendra keluar dari kamarnya. Saat telah berada di luar dan tak lupa mengunci pintu rumah kembali, bisa kurasakan hawa dingin menyentuh kulit wajahku. Suasana di luar masih sepi karena waktu yang juga masih terlalu dini bahkan matahari pun belum muncul ke permukaan langit.

Kulangkahkan kedua kaki menuju jalan besar. Saat sampai, aku berdiam diri menunggu di tepi jalan. Sebuah bus yang terlihat belum disesaki penumpang bergerak menuju tempatku berdiri. Segera kuhentikan angkutan umum tersebut sebelum terlewat. Aku melihat bus tersebut hanya diduduki oleh 5 penumpang, yang duduk di posisi berjauhan. Seorang kondektur membunyikan koin di tangan kanannya, tanda meminta ongkos. Setelah menyerahkan uang, kondektur itu kembali menuju bagian belakang bus.

Wajahku teralihkan ke luar jendela—memandangi keadaan jalanan yang masih sepi kendaraan. Angin yang masuk dari jendela yang terbuka membuat kulitku terasa mengeras karena dingin.

"Hufh. . . " aku membuang nafas pelan kemudian menghirup lagi banyak-banyak udara yang belum terlalu terkontaminasi asap kendaraan. Jari-jari tangan kananku bergerak menarik restleting jaket hingga leher agar merasa lebih hangat.

Hari ini, aku memutuskan untuk tidak pergi ke sekolah karena merasakan pikiranku yang tengah kalut. Entah atas alasan apa, tapi suasana hatiku sudah tak menentu semenjak pulang menghadiri pernikahan mantan Ayahku. Aku ingin menyendiri. Tak ingin bertemu atau berbicara dengan siapapun yang kukenal. Hingga akhirnya, saat aku bahkan tak bisa tidur, memutuskan untuk mengunjungi suatu tempat dan berharap dengan ke sana maka suasana hatiku bisa membaik.

***

"Pak Hendra." Pak Gatot, seorang guru biologi datang menghampiri meja Pak Hendra yang tengah bersiap-siap akan masuk kelas untuk mengajar.

"Iya, Pak."

"Ada kabar dari Anggun? Hari ini dia enggak masuk, tapi enggak mengabari apapun ke ketua kelasnya."

Pak Hendra mengernyit mendengar pernyataan rekannya itu, "Enggak masuk?"

"Iya. Bapak enggak tahu, dia enggak mengabari Bapak juga?" Pak Gatot merasa curiga.

Menyadari kecurigaan itu, Hendra segera bersikap biasa, "O-oh, iya . . . saya lupa, tadi pagi Ayahnya mengabari kalau Anggun lagi enggak enak badan. Jadi, dia minta ijin sehari buat beristirahat." Ia berbohong.

"Oh, begitu. . . bagus deh, saya tadi sempat berpikir jangan-jangan siswi itu enggak masuk tanpa mengabari wali kelasnya." Kemudian Pak Gatot kembali ke bangkunya dan bersiap menyiapkan materi untuk kelas berikutnya.

Hendra membawa buku-buku pelajarannya kemudian berjalan keluar ruangan. Pikirannya dipenuhi pertanyaan tentang Anggun yang tiba-tiba membolos. "Kemana dia pergi?" tanyanya tanpa terucap oleh bibir, "atau jangan-jangan dia memilih bekerja fulltime di restoran?" tuduhnya lagi.

Saat sudah berada di depan pintu kelas, ia segera membuang jauh sementara tentang kemisteriusan keberadaan Anggun. Lalu, masuk dengan langkah mantap dan niat siap mengajar.

***

Sore harinya seusai jam sekolah usai, Hendra segera pergi menuju restoran. Berharap disana, ia akan bertemu dengan anak didiknya itu dan menginterogasi alasan atas tindakan tidak terpujinya hari ini. Ia juga diliputi rasa khawatir karena nomor telepon Anggun tak aktif sejak jam istirahat pertama hingga sekarang.

Sesampainya di dalam restoran, ia bertanya pada seorang perempuan yang bertugas menjaga mesin kasir mengenai keberadaan Anggun. Harapannya bisa menemui perempuan itu pun kandas, kala perempuan itu mengatakan belum melihat sosok Anggun hingga sore ini.

"Pak Hendra?" saat laki-laki itu larut dalam kekecewaannya, Sonia datang menghampiri meja kasir dengan tujuan awal ikut mengawasi suasana restoran yang semakin ramai.

"Bu Sonia."

"Udah lama kita enggak bertemu, apa kabar?" tanyanya dengan ramah sambil menyodorkan tangan.

Pak Hendra menjabat tangan itu, "Baik, maaf sebelumnya karena saya datang bukan sebagai pengunjung restoran." Ujarnya sambil terkekeh, "saya datang karena ingin bertemu dengan Anggun."

"Oh, hari ini dia enggak datang ke restoran. Dia kirim pesan tadi pagi, mau libur dulu sehari karena alasan ada tugas sekolah yang harus dikerjakan." Jawab Sonia.

Pak Hendra terdiam. Ia tak menyangka kalau bahkan Anggun membohongi bosnya. Ia semakin penasaran dengan tujuan kepergian anak muridnya itu.

"Pak Hendra?" Sonia yang merasakan keanehan sikap laki-laki didepannya itu mulai merasakan kejanggalan, "Bapak enggak diberitahu sama Anggun soal ijinnya hari ini? Kalian bukannya tinggal bareng?" ia mengecilkan suaranya saat mengucapkan kalimat tanya terakhir.

Hendra menggelengkan kepala, "Dia memang jarang memberitahu saya soal kegiatannya. Tapi, mungkin apa yang dikatakannya benar karena tugas-tugas sekolah saat ini memang lagi padat karena sebentar lagi mau ujian akhir semester."

"Ooh, begitu . . ."

"Kalau begitu, saya pamit dulu. Terima kasih."

"Enggak mau pesan sesuatu dulu, Pak?" tanya Sonia.

Hendra pun jadi salah tingkah ditanyai seperti itu karena dia memang tidak berniat membeli apapun di restoran itu, "Mungkin lain kali." Sambil tersenyum canggung.

"Baiklah, terima kasih sudah berkunjung walaupun niatnya cuma mau ketemu Anggun." Sonia sengaja meledek. Hendra hanya membalas tawa kemudian buru-buru keluar karena merasa malu.

"Ish, dia ini kemana, sih?! Enggak sopan banget, enggak bilang apa-apa sama gue." Hendra menggerutu. Ia mengeluarkan ponselnya lagi dari kantong dan sekali lagi menghubungi nomor Anggun. Ia berharap kali ini panggilan teleponnya akan diangkat.

'Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi.' Dengan kesal Hendra memutuskan panggilannya. "Masih enggak aktif !" Kemudian, ia beralih menyalakan mesin motor dan pergi dari area teras restoran.

***

Aku tengah duduk santai di dalam kereta gantung—seorang diri dengan kedua mata tertuju pada hamparan luas laut di bawah. Angin laut masuk ke dalam celah jendela kereta, memberikan aroma asin namun segar untuk hidungku. Aroma yang tak akan kudapatkan jika berada di ibu kota.

Dalam diam, aku mulai larut ke dalam ingatan masa lalu ketika bersama Ayah dan Ibu menaiki kereta ini. Saat itu umurku masih 6 tahun. Aku duduk di temani Ibu yang saat itu terlihat bahagia sambil menunjuk ke luar jendela. Menyuruhku melihat pulau-pulau kecil yang berada di kejauhan. Lalu didepan kami, Ayah duduk sambil merekam percakapanku dengan Ibu atau mengambil foto.

Setelah lelah tertawa dan bercanda, kami akan larut dalam diam dengan masing-masing mata tertuju pada satu titik, yaitu lautan yang semakin terlihat indah kala menjelang sore. Momen itu adalah yang paling menyenangkan.

Kini, meski aku tak akan pernah merasakan momen serupa namun tak menjadi masalah karena aku tahu lautan tak pernah berubah. Anugerah alam yang diberikan oleh Tuhan ini, selalu bisa memberikan ketenangan dengan caranya sendiri. Menampakkan keindahan yang tak mudah diungkapkan dengan kata-kata hingga mampu melarutkan kenangan pahit sekalipun. Karena alasan inilah, aku datang. Melupakan sementara kepenatan pikiran dan hati akibat kenyataan yang sekarang tengah kutinggalkan di belakang. Meringankan sejenak beban tak terlihat yang selama ini memberati pundak. Menghirup banyak-banyak aroma ketenangan yang disajikan oleh Tuhan melalui laut. 

Alone (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang