XXXIII

1.6K 76 8
                                    

"Kamu tadi kenapa, sih mas?" tanya Meta, saat ia dan sang suami sudah sampai di kafe tujuan mereka.

"Aku kenapa?"Adli balik bertanya.

Bibir bawah Meta sedikit maju, mengekspresikan kekecewaan karena sang suami tak langsung mengerti maksud pertanyaannya. Tangan kanannya terus mengaduk-aduk teh chamomile, "Yang tadi, mas... sewaktu ketemu sama Anggun. Kamu kelihatan syok, gitu."

"Aku syok? Masa?"

"Iya!" Meta sedikit memberikan penekanan pada jawabannya, "kamu syok ya, karena udah enggak dipanggil Ayah lagi sama anak kamu? Nyesal karena di panggil Om?"

Adli tak bisa menjawab. Tak mudah baginya mengakui jika dia memang terkejut saat Anggun tidak lagi memanggilnya dengan sebutan Ayah. Harusnya dia senang karena akhirnya keinginannya dilupakan oleh Anggun, anaknya, telah terwujud.

"Tuh, kan kamu diam, mas. "Meta kembali berucap, "kamu nyesal ya karena udah buang anak kamu itu demi aku?"

Adli menatap istrinya dan berusaha bersikap biasa, "kamu ngomong apa, sih sayang?" tangan kanannya membelai puncak kepala sang istri berharap agar ia berhenti berprasangka buruk.

Meta memandang sinis, "kamu lagi berusaha mengelak, ya? berarti aku benar, kan?"

Adli menyembunyikan helaan nafasnya, "Aku Cuma sedikit enggak menyangka akhirnya anak itu bisa melakukan apa yang kumau sejak lama." Ia berkata sambil menampilkan senyum lembutnya, "dan sekarang aku lega, karena dengan begini aku benar-benar sudah bebas. Hidupku sekarang Cuma buat kamu. Buat kita."

Meta merasa terenyuh mendengar kata-kata manis suaminya, lalu menggerakkan salah satu tangannya ke tangan Adli dan menggenggamnya, "Enggak ada lagi masa lalu, yang ada Cuma masa depan kita." Mereka berdua kembali melalui momen kebersamaan dengan menikmati pesanan masing-masing.

***

Kini aku tengah duduk di bangku yang sama saat pertama kali datang ke rumah bu Tantri. Kedatanganku tadi disambut oleh Kenji yang sedang duduk bersandar salah satu tiang rumah di teras. Tak lama terdengar langkah kaki agak terseret, yang ternyata berasal dari Bu Tantri yang berjalan dengan hati-hati sambil di pegangi oleh Kenji.

"Nunggu lama, ya nak Anggun?" sapanya.Aku memperhatikan raut wajahnya yang tidak sehat serta bibirnya yang agak pucat.

"Enggak, bu." Jawabku sambil tersenyum. Kenji tak melepas pegangannya hingga Bu Tantri benar-benar duduk. "gimana, kabar ibu?"

Sebelum menjawab, ia menghela nafas pelan. Nampaknya, langkahnya menuju ruangan ini menguras banyak tenaganya. "baik." Ia mengangguk lemah.

"Tapi, kayaknya ibu lagi kurang sehat... apa benar enggak apa-apa saya datang hari ini?" tanyaku dengan sopan.

"Enggak apa-apa, nak. Karena ada sudah tua, wajar kalau ada satu waktu ibu merasa butuh lebih banyak beristirahat. Jadi, bagaimana... apa nak Anggun sudah yakin akan tinggal di sini?"

Aku memberikan anggukan, "tapi, sebelumnya saya mau memastikan kalau ibu benar-benar mengizinkan saya pulang sesuai dengan selesai jam kerja."

Bu Tantri mengangguk, "Iya, saya izinkan.Tapi apa bisa kamu mengusahakan maksimal jam 12 sudah sampai di rumah? Atau malah kamu akan berada di luar lebih malam dari jam itu?"

"Untuk sekarang jam selesai kerja saya sampai jam 10 malam, jadi kalau batas maksimalnya jam 12, saya rasa bisa sampai di rumah sebelum jam segitu."

"Baiklah, lalu bagaimana soal biaya yang pernah ibu sampaikan? Apa kamu merasa keberatan kalau harus mengeluarkan uang sebesar 250.000?"

"Enggak, bu. Saya enggak ada masalah dengan harganya."

Alone (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang