XLIII

651 45 2
                                    



Aku dan Kak Gio telah sampai di resto. Kak Gio memintaku masuk lebih dulu karena dirinya harus memarkirkan mobil ke dalam garasi. Ketika akan membuka pintu resto, aku menangkap kehadiran seseorang yang kukenal. Pak Hendra?

Dia melambaikan tangannya seraya tersenyum di atas motornya. Aku pun bertanya-tanya tentang alasan kedatangannya. Karena resto telah di tutup dan di dalam juga sudah tak ada pengunjung, aku pun berani untuk menghampiri wali kelasku itu.

"Bapak kenapa datang ke sini?" tanyaku.

"Mau ngantar kamu ke kos-an."

"Huh? Kenapa tiba-tiba mau ngantar, Pak?"

"Ya enggak apa-apa, ini kan masih salah satu tanggung jawab saya sebagai wali kelas. Mengupayakan muridnya enggak keluyuran di tengah malam."

Aku mengernyit heran, "Bapak bisa ngomong begitu karena kebetulan tahu kalau saya kerja, kan? seandainya saya cuma anak biasa yang pulang malam karena main, enggak mungkin Bapak belain datang..."

"Enggak juga... kalau ada murid yang ketahuan keluyuran malam-malam buat main, pasti saya jewer dan besoknya di sekolah saya panggil plus ngehubungi orangtuanya."

Aku terdiam. Sebenarnya aku tak menduga jawaban itu yang akan keluar. Nampaknya, Pak Hendra ini tidak berbohong soal ketegasannya terhadap pola tingkah murid.

"Tegas juga, ya Bapak."

"Harus, dong." Balas Pak Hendra dengan nada bangga.

"Tapi kalau negasin Gendhis K.O." ejekku seraya pergi menuju resto.

"Heee, ngomong apa tadi?" balas Pak Hendra namun tak kuhiraukan selain membalasnya dengan kekehan. "Saya tunggu di sini, Nggun. Jangan lama-lama."

"Iya."

Di dalam resto, kedatanganku di sambut oleh Mbak Sonia yang masih belum pulang karena menunggu kepulanganku dan Kak Gio.

"Gio, mana Nggun?" tanyanya.

"Lagi parkir mobil, Mbak."

"Oh, ya udah kamu buruan pulang, deh... udah ditungguin juga dari tadi sama gurumu itu."

Aku tertawa, "Iya, mbak. Ini aku mau ganti baju dulu."

"Kadang Mbak sampai heran, dia tuh gurumu atau pacar, deh. Setia banget nungguin di depan. Jarang lho, saya lihat ada guru yang care nya kebangetan kayak dia. Jangan-jangan ada udang di balik batu, tuh Nggun. Modus."

Aku kembali tertawa, "Enakan ada udang dibalik tepung Mbak, bisa di makan." Balasku bermaksud bercanda, "...guruku itu emang tegas banget tentang pola tingkah murid, apalagi tahu aku kerja setelah jam sekolah, dia ngerasa harus tanggung jawab aja sih sama keamanan muridnya."

Mbak Sonia membalas dengan tawa, "Tanggung jawab untuk keamanan muridnya? Kenapa enggak sekalian jadi bodyguard aja? Cocok tuh." Kembali tertawa.

"Ya udah, aku masuk dulu Mbak." Kataku kemudian mendapati respons anggukan dari managerku itu.

***

10 menit kemudian aku keluar dari ruang ganti. Setelah berpamitan dengan Mbak Sonia aku bergegas keluar menghampiri wali kelasku.

"Lama amat, sih. Beku saya nungguinnya."

"Maaf, deh Pak."

"Buruan naik, deh."

Aku mengikuti perintahnya. Kutatap punggungnya yang terbalut jaket. jika dalam keadaan begini, sulit rasanya menganggap Pak Hendra ini seorang guru. Karena kenyataannya selain umurnya yang masih muda tapi style-nya juga mendukung kemudaannya.

Alone (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang