XXI

1.9K 84 1
                                    

Aku tiba di sekolah sejak pukul 6 pagi, dan kuyakin saat ini rautku sama sekali tak enak dipandang oleh siapapun. Aku benci hari ini—hari dimana aku akan segera berpisah dengan Jani dan tidak tahu kapan akan bisa bertemu lagi dengannya. Satu persatu teman-teman sekelasku datang dan sekilas memerhatikanku yang sejak tadi tertunduk memandangi meja disebelahku. Tak ada yang berusaha menyapa atau sekadar menanyakan sikapku yang begitu murung. Hingga tiba-tiba kulihat Jani sudah duduk di kursinya kemudian meletakkan tasnya dibawah.

"Muka lu kenapa kayak gitu, Nggun? Suram banget. Baru hari Senin, lho ini." katanya dengan memandangiku. Ia terlihat biasa saja meskipun ini adalah hari terakhirnya bersekolah dan akan berpisah denganku.

"Menurut lu . . . kenapa gua nampilin muka kayak gini?" aku bertanya balik.

Bibir Jani mengerucut, "Jangan bilang karena gua mau pindah, makanya lu kelihatan suram sekarang."

"Iyalah, emang apalagi?" kataku yang agak tak suka dengan cara bicaranya yang seolah menunjukkan perpisahanku dengannya bukan hal yang harus dikhawatirkan.

Jani mengeluarkan kotak pensil, satu buah buku tulis, dan buku paket kemudian masing-masing ditatanya dengan rapi di atas meja. "Jangan bikin raut kayak gitu, dong Nggun. Gua jadi enggak tenang mau ninggalin lu, tapi walaupun pengennya disini, gua enggak bisa ngelawan perintah Bokap." Dia melirik sekilas kearahku, "kemarin, lu kelihatan udah rela kalau gua pergi, tapi sekarang kenapa jadi begini?"

"Walaupun kemarin gua terkesan ikhlas, tapi tetap aja gua sedih karena enggak akan ketemu sama lu lagi." Jawabku.

Jani menghela nafas panjang, lalu menatapku, "Bukan cuma lu yang sedih, tahu." Matanya kulihat berkaca-kaca, "sorry, ya . . . awalnya gua pikir, seenggaknya bakal ada disini sampai lulus, tapi ternyata keinginan gua ditepis begitu aja sama Bokap."

"Jan . . . bisa pulang lebih lambat, enggak hari ini? Gua pengen, buat terakhir kalinya, kita makan bareng." Ajakku, tak kupedulikan kenyataan bahwa aku harus bekerja setelah jam sekolah usai.

Kuperhatikan tak ada respon Jani menerima tawaranku. Sorot matanya masih memancar kesedihan, "Gua enggak bisa, Nggun . . . padahal gua mau banget. Selama ini kita, kan, enggak pernah jalan atau sekadar ngobrol bareng di luar jam sekolah."

"Bener-bener . . . enggak bisa diusahakan, ya?" tanyaku lagi memohon agar Jani mau berusaha meluangkan sedikit waktunya.

Sayang, Jani justru memberikan gelengan kepala dengan lemah, "Gua cuma sampai jam istirahat pertama hari ini."

Aku membelalak, "Hah? Cuma sampai jam istirahat?

"Iya. Gua enggak bisa sampai jam sekolah berakhir karena Bokap minta gua buat mengemas barang yang akan dibawa dan dia jemput gua langsung hari ini." Jani memalingkan wajahnya ke depan, lalu beberapa kali menatap ke bawah dan menghela nafas beberapa kali.

Aku pun melakukan hal yang sama. Sedih sekaligus menyesal karena perpisahanku dengan Jani hanya akan seperti ini. Aku tak bisa memberikan kenang-kenangan apapun padanya selain obrolan dan aktifitas selama ini di sekolah, yang sulit dikatakan sebagai sesuatu yang berkesan. "Gitu, ya . . . sayang banget, karena kita bakal pisah tanpa ada momen yang berkesan."

"Semua aktifitas dan obrolan kita selama ini udah berkesan, kok Nggun." Jawab Jani masih tanpa mengalihkan tatapannya kebawah.

Aku mengulas senyum, "Gua udah duga lu pasti bakal bilang begitu. Tapi, yang gua maksud . . . bahkan sampai di hari terakhir, kita enggak bisa hang out bareng layaknya teman dekat yang sesungguhnya."

"Mungkin emang bukan sekarang . . ." Jani menjawab, "mungkin bakal ada waktu yang lebih tepat buat kita ngelakuin hal itu. Sekarang, kita cuma difokuskan buat nyelesein masalah hidup kita." Lanjutnya.

Alone (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang