Hanya dalam waktu 20 menit, Hendra akhirnya sampai di jalanan depan rumahnya dan memang menemukan dua orang tengah berdiri dan berbisik-bisik di depan pagar pekarangannya.Ia memajukan motor menghampiri kedua lelaki itu. Menyadari ada yang datang, dua laki-laki bertubuh tambun dan tinggi itu bergerak agak menjauh.
"Maaf, Mas, ada apa ya merhatiin rumah itu?" tanya Hendra, yang tak mau langsung mengatakan kalau rumah yang diperhatikan adalah rumahnya.
"Oh enggak ada apa-apa, Mas. Kita cuma lagi cari alamat saudara di di daerah sini cuma lupa-lupa inget rumahnya yang mana."
"Kenapa enggak ditelepon aja saudaranya biar keluar?"
Salah satu dari mereka yang memiliki rambut ikal sebahu melirik dan menyenggol temannya yang agak pendek darinya dan botak.
"U-udah ditelepon, Mas cuma enggak diangkat-angkat...emang salah kita, sih datang enggak mengabari dulu karena kebetulan aja lagi lewat daerah sini terus kepikiran buat mampir pakai alamat yang dulu dia kasih."
"Oh, gitu. Bisa saya lihat alamatnya, mungkin aja bukan daerah sini."
"O-oh, Mas emang orang sini?"
"Iya. Coba saya lihat." Hendra menyodorkan tangannya meminta bukti alamat yang dikatakan oleh dua orang itu.
Dua laki-laki itu kembali saling melihat seolah ketakutan akan sesuatu. Ada keragu-raguan menyerahkan yang diminta Hendra. Laki-laki berambut sebahu mengeluarkan ponsel dari saku depan jaket kulit hitamnya kemudian menggeser-geser aplikasi. Tak lama laki-laki botak di sampingnya juga mengeluarkan ponsel dari saku dan bicara dengan seseorang. Sontak hal itu menjadi pusat perhatian dari Hendra dan laki-laki berambut panjang.
"Ah, iya tadi kita lagi telepon cuma enggak diangkat-angkat, lagi pergi ya?" laki-laki botak itu menjawab. "oh gitu, iya kita mau mampir ke rumah tapi coba bisa dikonfirmasi alamat nya?" ujar laki-laki itu lagi. Hendra dan teman dari laki-laki itu ikut serius mendengar perkataannya. "O-oh gitu, berarti kita udah salah masuk gang. Itu...yang letaknya sebelum kafe kopi, ya? Oh gitu, ya ya oke. Sip, tapi kamu ada di rumah kan? Oh oke." Kemudian ia mengakhiri percakapannya dan menatap Hendra dengan senyum canggung.
"Kenapa, Mas? Salah alamat?" tanya Hendra.
"Iya, Mas. Kata saudara saya alamatnya sebelum kafe kopi yang ada diluar gang ini."jawab laki-laki itu, dan teman di sampingnya buru-buru memasukkan lagi ponselnya.
"Oh, kok bisa nyasarnya sampai sini?"
"I-iya, Mas...saya kayaknya yang salah tulis nama alamatnya jadi kepleset sampai ke sini." Laki-laki botak itu tertawa canggung dan tentu saja Hendra tak bisa membalasnya karena masih merasa curiga dengan tindak tanduk keduanya. "Kalau gitu, kita pergi ya Mas. Maaf udah ganggu dan nunda perjalanannya."
"Enggak apa-apa. Toh, rumah saya juga udah dekat." Kemudian Hendra menunjuk rumahnya, "saya berhenti karena curiga melihat kalian lihat-lihat rumah saya. Hampir-hampir mau saya laporin Mas-Mas ini ke kantor polisi karena terlihat kayak pencuri yang ngawasin rumah korbannya."
Dua laki-laki itu tercekat mendengar pengakuan Hendra dan berlomba-lomba mengeluarkan ekspresi panik serta ingin menolak dugaannya. "Oh, enggak Mas, kita sama sekali bukan pencuri. Maaf ya, Mas. Kalau gitu, kami pamit. Terima kasih sekali lagi." Kata si laki-laki berambut panjang.
"Iya." Hendra menjawab dengan dingin. Kedua laki-laki itu pun segera buru-buru pergi dengan sesekali menoleh ke belakang dengan raut ketakutan.
Sampai benar-benar yakin dua laki-laki itu keluar dari gang perumahannya, barulah Hendra masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Mengeluarkan kunci untuk membuka pintu rumah kemudian memapah motornya masuk ke dalam dan mengunci kembali pintu rumahnya. Tak lama, pintu kamar Anggun terbuka dan menampakkan sosok muridnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
Fiksi Umum12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...