Ica tengah sibuk membereskan ruang-ruang di lantai satu rumahnya. Ia menyapu, mengepel dan terakhir memasak sarapan untuk suami dan ibu mertuanya.
Beberapa saat kemudian, sang suami, Darwis, turun dengan pakaian santai dan menghampiri sang istri di dapur. Karena hari ini adalah hari Sabtu, maka ia tak memiliki rencana untuk pergi ke mana pun. Darwis memberikan kecupan selamat pagi yang hangat dan merasa penasaran dengan menu sarapannya hari ini.
"Bikin apa, istriku sayang?"
"Ini... aku buatkan nasi goreng daun mengkudu kesukaan kamu dan ibu."
"Hmm, baunya udah harum." Kata Darwis seraya mengeratkan pelukan di pinggang istrinya.
"Kamu mending tunggu di meja makan, daripada gangguin aku masak begini." Balas Ica dengan nada penuh kasih sayang.
"Oke, honey... Eh, ibu belum turun, ya?" tanya Darwis setelah melepaskan pelukannya.
"Belum."
"Kalau gitu, aku samperin Ibu dulu biar sarapan bareng-bareng."
"Oke."
Sepeninggal suaminya, Ica kembali berkonsentrasi membolak balikkan nasi goreng buatannya agar bumbunya meresap dengan baik. Ketika itu... sebuah kenangan tiba-tiba menghampiri kepalanya. Kenangan ketika dulu ia juga memasakkan sarapan untuk keluarga sebelumnya.
Ica sering membuatkan nasi goreng sebagai sarapan, karena Anggun sangat menyukai masakannya itu, begitu pun dengan Adli. Ia akan menerima pelukan dan ciuman yang sama dari suami pertamanya kemudian pelukan juga datang dari Anggun. Ucapan 'Anggun cinta Ibu, Anggun suka masakan Ibu' ketika anak itu masih kecil, sering didengarnya dan membuatnya semangat.
Ia mungkin sekarang tak lagi peduli dengan mantan suaminya, tapi Anggun... tak dipungkiri Ica menyadari telah menjadi orangtua yang sangat jahat terhadap seorang anak perempuan cantik yang selama ini menyayangi dan mencintainya dengan tulus.
Pertemuan terakhirnya dengan Anggun saat di pernikahan Adli, membuatnya miris. Ia tahu kalau Anggun tidak lagi tinggal dengan Adli dan sedikit merasa penasaran dimana kini anak itu tinggal. Raut wajahnya menimbulkan keprihatinan. Tubuhnya kurus dan wajah yang lelah. Nampaknya, dia bekerja sangat keras untuk hidup. Padahal, sebelum memutuskan mengusir putri tunggalnya itu, ia berharap Adli mampu membesarkannya dengan baik. Namun entah apa yang terjadi, keputusan Adli justru serupa dengan keputusannya.
Ica menghela nafas panjang. Menurutnya, mau dipikirkan selama dan sejauh apapun tetap tak bisa mengubah statusnya sebagai Ibu kandung yang jahat. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk menolong putrinya itu. Keputusannya sudah bulat untuk memulai hidup yang baru.
Ia memasukkan nasi goreng yang sudah matang ke atas sebuah tempat nasi dan membawanya ke meja makan. Menata piring-piring, gelas dan teko berisikan air putih.
Tak lama suami dan ibu mertuanya turun. Keduanya menyambut hangat serta memuji persiapan sarapan yang dilakukan oleh Ica.
"Kamu mau aku buatkan kopi atau teh Mas?" tanya Ica dengan lembut.
"Teh aja, sayang." Balas sang suami.
Kemudian Ica menanyakan hal serupa pada ibu mertuanya dan mendapati jawaban yang sama. Ia pun kembali ke dapur untuk menyiapkan minuman yang diminta.
Dalam pikirannya, meski terkadang rasa khawatir datang ketika mengingat anaknya namun ia harus lebih perhatian dengan keluarga barunya. Keluarga baru yang mau menerimanya apa adanya, keluarga baru yang disenangi oleh Ayah dan Ibunya, laki-laki yang mencintainya bahkan saat dirinya sudah menikah, dan semua hal yang dianggapnya anugerah itu hanya butuh satu pengorbanan yaitu menghapus kenangan keluarganya yang pertama. Oleh karena itu sekarang, Ica teguh untuk tidak lagi merasakan kesedihan terhadap apapun yang menimpa keluarga lamanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/122249714-288-k947570.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
General Fiction12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...