Selepas bel sekolah berbunyi, Jani berpamitan untuk pulang duluan supaya bisa mendapatkan lebih banyak waktu mencarikanku tempat tinggal. Satu persatu murid meninggalkan kelas hingga akhirnya menyisakanku seorang diri. Saat hendak berdiri, tiba-tiba handphone-ku berdering, tanda ada telepon masuk dan menampilkan nama Mbak Sonia pada layar. Rasa panik segera menghantui pikiranku karena mengira telah terlambat menuju restoran.
"Halo, Mbak? Aku masih di perjalanan menuju restoran, maaf tadi jam pulangnya sedikit mundur."Kataku sembari berjalan terburu-buru melewati lorong kelas.
"Enggak apa-apa. Aku justru mau ngasih izin kamu buat enggak bertugas hari ini." Jawaban Mbak Sonia membuatku berhenti melangkah.
"Emang kenapa, Mbak?" aku bisa mendengar helaan nafas pendek dari si penelepon.
"Emang kamu enggak mau nyari tempat tinggal yang baru? Kalau sehabis pulang sekolah kamu langsung kerja ke restoran, terus kapan kamu bisa nyari tempat tinggal? Walaupun bisa pas weekend, tetap aja enggak gampang nyari rumah." Mbak Sonia terdengar mengomel.
"Ooh, gitu . . ." aku tertegun mendengar perkataan Mbak Sonia, "...makasih, Mbak."
"Iya, tapi jam 7 kamu harus udah sampai di restoran karena kamu tahu sendiri, itu jam sibuk kita buat ngelayanin pengunjung."
"Oke, Mbak. Aku janji jam 7 udah stand by di resto. Makasih sekali lagi." Aku mendengar dehaman darinya, sebelum akhirnya Mbak Sonia memutus lebih dulu teleponnya. Aku kembali mempercepat langkah menuju pintu keluar bangunan sekolah.
"Anggun !" seruan yang menyebut namaku, membuatku menoleh ke belakang dan melihat Pak Hendra berjalan kearahku.
"Ya, Pak?"
"Saya sudah menghubungi nomor Ayah dan Ibu kamu, tapi enggak ada satupun dari nomor itu yang aktif. Apa kamu enggak menyimpan nomor yang lain?" tanyanya.
"Oh ya, Ayah juga enggak aktif?"
Pak Hendra menggeleng sekali, "Saya coba lagi." Ia mengeluarkan handphone dari saku celananya .Setelah menekan nomor yang tepat, ia mengarahkan handphone-nya sedikit kearahku dengan mode speaker. Suara operator pun terdengar dan memberitahu kalau nomor tersebut sudah tak lagi terdaftar. "Kapan terakhir kali Ayah kamu pakai nomor ini?"
"Beberapa hari yang lalu, belum lama." Jawabku.Perlahan, aku sedikit mengerti satu hal. Jika memang nomor itu tidak lagi aktif, mungkin itu salah satu langkah pertama yang Ayah lakukan supaya aku tak lagi bisa menghubunginya dalam situasi genting apapun.
"Gimana kalau sekarang kita ke rumah Ayah kamu. Jadi, masalah ini bisa cepat diselesaikan." Aku bisa melihat dirinya antusias.
"Saya enggak mau." Aku menjawab dengan tegas. Guru itu terlihat kaget,". . . saya harus bekerja." Aku melanjutkan.
"Saya akan minta izin sama Manager kamu, supaya kamu dibolehkan libur kerja hari ini."
"Jangan, Pak. Saya butuh uang perhari dari pekerjaan ini.Kemarin, saya sudah sering tidak masuk karena sakit, kalau sekarang saya izin lagi, gaji saya semakin berkurang."
"Bapak yang akan mengganti kekurangan dari gaji kamu."
Aku mendecak sebal, "Saya tetap enggak mau, Pak. Maaf, saya harus pergi sekarang."Setelah menundukkan kepala sedikit sebagai tanda pamit, aku barbalik untuk melangkah keluar.
"Kalau kamu enggak mau, Bapak yang akan kesana nemuin Ayah kamu." Entah bagaimana, perkataan wali kelas itu terdengar seperti ancaman.
Aku kembali membalikkan badan, "Silakan, Pak. Bapak sudah tahu tabiat Ayah saya, kan? Mohon berhati-hati kalau ngomong sama dia." Aku memeringati sambil memaksakan senyum.Kemudian, aku buru-buru melangkah keluar karena tidak mau mendengar sepatah kata lagi dari Pak Hendra.
![](https://img.wattpad.com/cover/122249714-288-k947570.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
General Fiction12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...