LIII

689 34 10
                                    

Aku memasuki bangunan sekolah tanpa semangat. Hatiku masih begitu sedih jika mengingat keadaan Pak Hendra, yang hingga kini aku tak tahu perkembangan kondisinya. Bahkan hari ini aku mungkin tidak bisa ke rumah sakit karena harus tetap bekerja di restoran.

Sebenarnya malam tadi Kenji juga sudah berjanji padaku untuk mengabari tentang kondisi Pak Hendra, karena ia bilang sebisa mungkin akan datang ke rumah sakit untuk menengok atau sekadar bergantian jaga dengan kepala sekolah. Namun meski sudah dikatakan demikian, rasanya hatiku tetap belum tenang jika tidak langsung melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.

Saat sudah melewati ruang guru hendak menuju kelas, ponselku berdering. Ku lihat deretan nomor yang muncul adalah nomor yang tak kukenal. Dengan ragu-ragu, aku menjawab panggilan telepon tersebut.

"Halo?"

"Halo, selamat pagi. Apa benar ini nomor atas saudari Anggun?" suara bass khas laki-laki dewasa menjawab sapaanku.

"Iya betul, Pak? Ada apa dan ini siapa, ya?"

"Saya dari kantor kepolisian yang menangani kasus percobaan pembunuhan saudara Hendra oleh saudari Gendhis."

Jantungku seketika berdegup kencang sekali mendengar keterangan tersebut.

"Kami ingin meminta anda datang kepolisian untuk dimintai keterangan atas kasus ini, karena dalam catatan panggilan telepon korban, ada nama anda selain itu dari keterangan terduga pelaku, Anggun, juga menyebutkan nama anda. Karena itu kami harap kerjasamanya untuk datang ke kantor polisi hari ini."
"Tapi, sekarang saya harus sekolah dan bekerja. Jadi, enggak tahu kapan bisa ke kantor polisi, Pak." Jawabku dengan agak takut.

"Kami minta kerjasamanya demi kelancaran penyelesaian kasus ini, dan akan menunggu kehadiran anda."

Aku terdiam sejenak. Sebenarnya, aku juga sangat ingin membantu dengan memberi kesaksian yang dibutuhkan karena setidaknya hanya inilah yang bisa kulakukan untuk membantu Pak Hendra mendapatkan keadilan.

"Halo?"

"Iya, Pak akan saya usahakan hari ini datang."

"Baik, terima kasih. Akan kami tunggu kedatangan anda."

Kemudian, sambungan telepon diakhiri oleh pihak lawan bicara. Kukembalikan ponsel ke dalam saku rok dan melanjutkan perjalanan menuju kelas.

***

"Yang, bangun udah siang nanti kamu terlambat ke kantor lho." Panggil Meta yang kini sedang menguncir rambut ke belakang.

Adli pun akhirnya terbangun dan penglihatannya agak buram ketika memandangi tubuh bagian belakang sang istri yang masih bersolek di depan kaca. Ia pun terbangun tanpa kondisi yang segar. Kepalanya terasa sakit dan sekelilingnya seperti berputar-putar.

"Aku kok kayaknya enggak enak badan, ya Ay." Balas Adli sambil memijat-mijat kepalanya yang sakit. Sesekali ia memejamkan mata agar penglihatannya kembali normal.

Mendengar keluhan sang suami, Meta kembali menaiki tempat tidur dan mengecek kondisi Adli. Ia sentuh keningnya yang memang terasa sedikit panas.

"Kamu demam, ya? Mau ke dokter?"

"Aku istirahat sebentar, mungkin nanti akan membaik. Aku mau mengabari kantor dulu kalau izin enggak masuk hari ini."

"Ya udah, kamu tidur lagi aja. Aku keluar dulu, belikan sarapan. Telepon aku kalau ada apa-apa, ya?" kata Meta dengan nada khawatir. Adli menjawab dengan anggukan terkesan lemah.

Meta pun turun dari tempat tidur dan beranjak keluar kamar. Adli menurunkan selimut dari badannya. Ia berpikir untuk ke kamar mandi dulu sebelum melanjutkan istirahatnya. Dengan susah payah laki-laki itu menggerakkan tubuhnya untuk berdiri.

"Bruk !"

Tubuh Adli terjerembab di lantai dengan keras. Hal itu diakibatkan kedua kakinya yang tiba-tiba mati rasa dan tak mampu menopang tubuh atasnya. Ia mulai panik karena kejadian beberapa hari lalu kembali terulang. Dua tangannya meraih pinggiran tempat tidur dan mencoba berdiri dengan bertopang pada benda tersebut. Sayangnya, usaha yang dilakukan gagal. Ia justru kembali jatuh terduduk.

"Pasti reaksi ini cuma sebentar." Adli berusaha menenangkan dirinya sendiri kemudian berdiam diri sambil memijat-mijat pelan kakinya yang masih tidak bisa ia rasakan. "...apa yang harus kulakukan jika aku masih tidak bisa berdiri."

Kemudian, Adli meraih ponsel yang diletakkan di atas meja kecil di samping tempat tidur. Ia menekan nomor milik istrinya.

"Halo, Yang kenapa?" suara Meta terdengar khawatir.

"Ay, kamu udah beli sarapannya?"

"Belum, baru sampe, kenapa? Ada apa? Ada yang sakit?"

"Tenang, Ay... aku cuma tiba-tiba enggak bisa jalan. Tapi, mungkin cuma sebentar. Kamu jangan panik."

"Ya udah, aku pulang sekarang." Telepon segera di putus oleh Meta.

Adli kembali berusaha menggerak-gerakkan kedua kakinya namun tetap saja dua organnya itu bergeming. Ia mulai frustrasi dan mulai memukul-mukulkan tangannya pada kedua kaki yang tetap tak memberikan respons.

"Sebenarnya apa yang terjadi pada kakiku !" ia bicara dengan nada tinggi.

Tak lama, terdengar pintu kamar terbuka dan sosok Meta masuk dengan tergesa-gesa. Sang istri mengecek keadaan Adli dengan panik.

"Ya ampun, Yang kenapa bisa begini? Kamu enggak bisa menggerakkan kaki kamu?" tanyanya sambil memijit-mijit kedua kaki Adli.

"Aku juga enggak tahu, Ay. Beberapa hari lalu aku pernah kayak gini, tapi enggak lama bisa jalan lagi. Tapi, sekarang aku sama sekali enggak merasakan respons kakiku."

"Aku telepon rumah sakit buat kirim ambulans, ya."

"Iya. Jangan panik, Yang."

"Enggak, tunggu sebentar."

Meta mengambil ponsel di saku celananya dan segera menelepon rumah sakit terdekat. Di belakangnya, Adli masih terus berusaha berdiri dengan bertopang pada pinggir tempat tidur. Beberapa kali, dia tetap terjatuh hingga akhirnya Meta mengingatkan agar Adli berhenti mencoba karena khawatir akan menyakiti organ tubuh lainnya. 

Alone (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang