[15] I miss you

2.9K 104 0
                                    

Nathalie berjalan menelusuri koridor dengan earphone yang terpasang di telinganya. Di jam pelajaran kimia, Nathalie mendapat jam bebas karena dirinya menjadi satu-satunya murid yang berhasil lulus dalam ulangan harian minggu kemarin sedangkan semua temannya yang lain harus mengulang alias remedial.

Bersyukur Nathalie memiliki otak yang cerdas sehingga ia bisa menjawab soal ulangan itu tanpa ada kesalahan. Jadi, ia tak perlu repot-repot berpikir keras untuk kembali menjawab soal-soal tersebut.

Nathalie memilih melangkahkan kakinya menuju ruang musik. Ia berjalan menuju panggung yang terletak di ujung ruangan dimana ada sebuah grand piano hitam yang menarik perhatiannya sambil melepas earphone dan meletakkannya di saku rok, beserta dengan ponsel.

Ia tersenyum sendu begitu otaknya memunculkan sekelebat bayangan dirinya dan sahabat kecilnya sedang berebut untuk bermain piano.

"Sekarang, aku nggak perlu lagi rebutan sama kamu buat main piano, Ga," ucap Nathalie pada piano tersebut seakan piano itu adalah sahabat kecilnya.

Nathalie duduk pada kursi dan membuka penutup tuts. Ia mulai menggerakkan jarinya untuk memainkan sebuah nada yang membuatnya seakan kembali pada masa lalunya.

Devano tersenyum melihat kedua anak kecil sedang bermain piano dengan nada yang amburadul membuat Marc berteriak kesal.

"Stop it! You two can't play the piano!" Teriak Marc kesal.

Nathalie kecil itu mencebikkan bibirnya. "If you won't hear it, just go to your room, now!"

Marc mendengus kesal dan menghentikan kegiatan bermain PSPnya. Ia berjalan meninggalkan mereka menuju kamarnya.

Devano terkekeh. Ia berjalan mendekati keduanya dan memegang pundak mereka. "Nggak gitu cara mainnya."

Gadis kecil itu mengerutkan keningnya. "So how to play it, daddy?"

Devano mengambil posisi duduk di tengah keduanya membuat kedua anak berbeda gender itu bergeser. "You have to play this with feelings."

Devano mulai menggerakkan jari-jarinya untuk menekan tuts piano tersebut secara perlahan, hingga sebuah nada indah terdengar dari permainan pianonya.

Kedua anak itu tersenyum kagum. Mereka menggoyangkan kepala ke kanan dan kiri dengan gerakan lamban, mengikuti tempo nada piano yang dimainkan.

Devano memainkan pianonya sambil sesekali tersenyum melirik kedua anak kecil di sampingnya. Begitu permainannya selesai, mereka bertepuk tangan ria.

"Wow! That was awesome, uncle Dev!" Ucap anak lelaki itu kagum.

"Yes daddy. How can you do that? Would you teach me to play this piano like you?" Ucap Nthalie dengan nada yang terdengar begitu lucu membuat Devano gemas dan mengusap kedua kepala mereka.

"Of course i will teach you. But, you both must learn from beginning."

"It's okay, uncle. I will learn seriously. I want to be a pianist."

"Gimana bisa kamu jadi pianis? Kamu aja sukanya main bola basket," ucap Nathalie.

"Tentu aja bisa. Aku pengen jadi pemain basket sekaligus pianis terkenal biar banyak dikagumi orang," ucap lelaki itu.

Nathalie sempat terdiam sejenak. "Kalo gitu, aku juga mau jadi pianis. Aku mau disukain banyak orang."

"Ih kamu ikut-ikutan aja."

"Biarin." Nathalie kecil memeletkan lidah membuat lelaki itu memanyunkan bibirnya.

Devano terkekeh melihat pertengkaran kedua anak itu. "Kalian semua bisa jadi pianis, asalkan kalian mau banyak berlatih."

Piece of Heart [Why?]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang