Di atas ranjang pasien di salah satu rumah sakit ternama di Jakarta, seorang gadis meringkuk gelisah di balik selimutnya setelah mejalani kemoterapinya dua jam yang lalu.
Bastian dan Kharel memandang nanar Nathalie yang bergerak gelisah dalam tidurnya. Nathalie benar-benar terlihat sangat tersiksa. Wajahnya pucat dan berkeringat. Cewek itu bahkan sudah muntah sebanyak empat kali pasca kemo selesai ia jalankan.
"Kak,"
Kharel bangkit dari sofa dan berjalan menghampiri Nathalie, begitu juga dengan Bastian.
"Ada apa, Nat?"
"Mual," keluhnya.
"Mau muntah?"
Nathalie mengangguk. Mual di perutnya memang tak kunjung mereda sejak dua jam yang lalu. Hal itu tentu sangat mengusik kegiatan beristirahatnya. Bahkan sejak tadi, Nathalie sama sekali tidak tidur. Gadis itu hanya memejamkan matanya, berharap rasa kantuk mendatanginya sehingga ia tidak perlu merasakan mual selama beberapa menit saja.
"Aku gendong, ya?" Tawar Bastian.
Nathalie hanya mengangguk. Ia tak mau membuka mulutnya, takut jika itu akan membuat cairan yang mengoyak perutnya sejak tadi akan keluar begitu saja.
Bastian menyibak selimut yang dikenakan oleh Nathalie, lalu menggendong cewek itu menuju kamar mandi. Sebisa mungkin Bastian melakukan semuanya dengan pelan agar tidak membuat Nathalie kesakitan.
Bastian menurunkan Nathalie tepat di depan westafel, membiarkan cewek itu memuntahkan isi perutnya untuk yang kesekian kalinya.
Bastian membenarkan ikatan rambut Nathalie yang berantakan, sedangkan Kharel mengurut tengkuk cewek itu. Mereka berdua tidak merasa jijik sedikitpun. Malahan, Bastian membantu Nathalie untuk mencuci dan mengelap mulut cewek itu setiap Nathalie selesai muntah.
"Enek banget, dek?"
Nathalie mengangguk. Ia benar-benar tak mampu menahan gejolak memuakkan di perutnya. Tubuhnya sudah terasa sangat lemas. Perutnya pun terasa sangat sakit karena kosong dan terus muntah.
"Bas, gue panggil bang Zio dulu."
Bastian mengangguk membiarkan Kharel pergi. Ia menggantikan posisi Kharel yang mengurut tengkuk Nathalie.
"Udah?"
Nathalie mengangguk. Bastian mengangkat tubuh Nathalie, mendudukkannya di meja marmer westafel. Ia lalu mengambil dua lembar tisu untuk mengelap keringat di pelipis cewek itu. Wajah Nathalie benar-benar sudah pucat dan lesu, membuat Bastian tersenyum tipis. Bukan senyum senang, melainkan senyum sesak melihat gadis yang disayanginya harus merasakan penderitaan seperti ini.
"Kamu kuat,'kan?"
Nathalie menatap Bastian.
"Kamu harus kuat, Nat. Aku nggak tau seberapa sakit yang kamu rasain. Tapi aku tau kamu bisa ngelewatin ini semua."
Nathalie tersenyum di balik bibir pucatnya.
"Aku ngerasa beruntung banget punya kamu. Kamu hebat bisa bertahan ngelaluin ini sendirian."
"Aku nggak akan bisa ngelakuin ini tanpa kalian, Bas."
Bastian tersenyum. Cowok itu menyelipkan rambut Nathalie ke belakang telinga.
"Kita nggak berperan apa-apa, Nat. Kamu yang ngejalanin ini. Kita nggak tau, apa dan gimana yang kamu rasain."
"Kalian berperan penting buat aku. Kalo nggak karena kalian, aku nggak akan mau berjuang kayak gini."
Bastian mengusap pipi Nathalie. Pipi cewek itu kini terlihat lebih kurus dari sebelumnya.
"Aku sayang banget sama kamu, Nat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Piece of Heart [Why?]
Novela JuvenilCOMPLETED! [Teenager stories only (15+)] ☡Be a smart readers. ○○○ Pernahkah kalian merasa bahwa kehidupan yang Tuhan berikan itu sangatlah sempurna? Pernahkah kalian merasa bahwa Tuhan begitu mencintai hamba-Nya? Pernahkah kalian merasa kehidupan ya...