VOTE DULU YUK!💞
○○○"Bas, kamu nggak pulang? Ini udah jam satu pagi, loh." Ujar Talita pada Bastian.
Bastian menggeleng pelan. Pandangannya tetap tertuju pada gadis yang terbaring di ranjang rumah sakit. "Besok kan libur, tante. Bastian mau nunggu disini."
Devano dan Talita saling berpandangan. Devano tersenyum sembari mengusap bahu Talita. Ia begitu bersyukur anaknya disandingkan dengan lelaki baik seperti Bastian. Ketara sekali bahwa cowok itu memang sangat menyayangi Nathalie. Dari cara cowok itu memperlakukan Nathalie, perhatiannya pada Nathalie, serta kesetiannya untuk tetap berada di samping anak gadisnya itu. Lelaki itu bahkan tetap setia mencintai anak gadisnya, padahal ia tau bahwa Nathalie bukanlah gadis yang sehat nan sempurna.
"Nak, lebih baik kamu istirahat dulu. Tidur saja di sofa, biar kami yang menjaga Nathalie." Ujar Devano pada Bastian.
Bastian menghela napas lalu mengangguk. Ia juga sudah lelah. Tubuhnya pegal karena sudah duduk berjam-jam. Cowok itu berjalan ke sisi ranjang dan menidurkan dirinya disana. Sedangkan Devano dan Talita bergantian menjaga Nathalie. Kharel, Marcielo, dan Athala sedang pergi ke minimarket terdekat untuk membeli beberapa camilan dan buah.
"Mas, apa Nathalie masih punya harapan untuk sembuh?" Tanya Talita sendu.
"Tentu saja, Talita. Dia pasti akan sembuh."
Talita mengusap kepala Nathalie. "Tapi bagaimana dengan penyakitnya?"
Devano menghela napas. Ia mengusap pundak Talita. "Jangan menyerah, Talita. Kita tidak boleh menyerah. Aku akan mencari pengobatan terbaik untuknya. Anak kita pasti sembuh. Aku yakin Tuhan pasti akan menyembuhkannya."
"Aku nggak mau Nathalie seperti ini terus, mas. Aku juga mau dia sembuh. Tapi aku juga kasian sama Marc. Setelah transplantasi kemarin, dia jadi sering mengeluh sakit, mas."
"Tapi Marc nggak bilang apapun. Dia juga tidak mengeluh sakit waktu Zio bertanya." Ujar Devano sedikit bingung.
"Dia memang nggak bilang sama yang lain, mas. Tapi dia bilang sama aku. Setelah transplantasi dia menggigil. Dua hari yang lalu juga dia demam. Untung sekarang udah sehat. Aku khawatir sekali ngeliat dia seperti itu."
"Tumben. Dulu, dia tidak pernah seperti itu."
"Aku juga nggak tau, mas."
"Yasudah, nanti biar aku tanyakan sama Zio."
Talita mengangguk. "Bagaimana kondisi Nathalie tadi? Apa kata Zio?"
Devano kembali menghela napas. "Nathalie cuma demam tinggi. Kemungkinan karena dia terlalu lelah atau banyak pikiran. Besok juga sudah membaik."
Talita menoleh pada Devano. "Ada hubungan dengan penyakitnya?"
Devano tersenyum tipis. "Kanker yang membuat Nathalie menjadi seperti ini." Ujarnya dengan nada yang sedikit tercekat.
Air mata yang sudah Talita tahan sejak tadi akhirnya tumpah juga. Inilah yang Talita takutkan. Sangat. Ia takut kanker itu akan mengalahkan anaknya. Ia takut kanker itu akan merenggut anaknya. Ia takut kehilangan Nathalie. Demi Tuhan, tidak ada yang lebih sakit dibanding melihat buah hatinya sendiri sekarat seperti ini. Tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding melihat anaknya berjuang sendiri untuk mengalahkan penyakit ganas yang entah seperti apa rasa sakit yang dialami oleh anak gadisnya itu. Tidak ada yang lebih Talita inginkan dibanding melihat buah hatinya kembali sehat seperti dulu. Tidak ada hari yang Talita lewatkan untuk memohon pada Tuhan-nya agar Tuhan-nya memberi buah hatinya kekuatan dan kesembuhan.
Seorang ibu yang begitu mencintai anaknya, tidak akan pernah berhenti mendo'akan yang terbaik untuk buah hatinya.
Di sofa, Bastian meneguk salivanya dengan air mata yang menetes dari matanya yang tertutup. Ia mendengar semuanya. Merasakan pula sakitnya. Merasakan pula takutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Piece of Heart [Why?]
Teen FictionCOMPLETED! [Teenager stories only (15+)] ☡Be a smart readers. ○○○ Pernahkah kalian merasa bahwa kehidupan yang Tuhan berikan itu sangatlah sempurna? Pernahkah kalian merasa bahwa Tuhan begitu mencintai hamba-Nya? Pernahkah kalian merasa kehidupan ya...