[39] London and homesickness

2.3K 96 0
                                    

Satu minggu berada di Marseille, sudah cukup untuk mengurus segala keperluan mereka disana. Selama seminggu itu juga, Nathalie banyak menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang meskipun terkadang itu harus beberapa kali terjeda karena penyakitnya yang kambuh.

Sejauh ini, semua baik. Maksudnya, tidak ada yang membuat Nathalie begitu kesakitan selama berada di Marseille. Ditambah lagi, ia tak memikirkan hal-hal berat yang bisa menganggu kesehatannya karena Bastian tidak pernah membiarkannya murung sedikitpun.

Berbicara soal Bastian. Lelaki itu benar-benar membuat satu minggu Nathalie berada di Marseille terasa begitu menyenangkan. Jujur, ia sering ke Marseille namun tidak pernah merasa sebahagia ini. Mengapa? Tentu karena berkali-kali Bastian melakukan hal kecil yang begitu romantis, seperti mengecup keningnya tiba-tiba dan berkata i love you, menjahilinya lalu memeluknya, mengajaknya movie night meskipun harus gagal ketika Nathalie tiba-tiba saja mimisan, berjalan-jalan ke beberapa objek wisata, bahkan melakukan dinner romantis sebagai ganti ia tidak bisa memberikan kado natal untuk Nathalie.

Natal yang awalnya Nathalie kira akan berjalan biasa saja ternyata salah karena ketiga lelaki yang menemaninya selalu menciptakan hal-hal yang sering membuatnya tertawa, jengkel, ataupun tersipu. Berbagai perlakuan manis juga ia dapatkan dari Kharel dan Zio. Kedua lelaki itu memberinya kado natal berupa sebuah dress, i-Pod berisi lagu-lagu terbaru, dan juga macbook baru berisi puluhan film action terbaru dari Kharel, serta satu box coklat, dua pasang hoodie, dan boneka lotso jumbo dari Zio.

Hari ini, kegiatannya di Marseille berakhir sudah. Kini, Nathalie dan Kharel sedang berada di perjalanan menuju rumah keluarga Talita di London, dimana keluarganya sudah menunggu kehadirannya disana. Bastian pergi ke Spanyol untuk menemui keluarganya, sedangkan Zio harus kembali ke Indonesia karena pekerjaannya.

Beberapa kali Nathalie terdengar menghela napas. Hal itu menarik perhatian Kharel yang sedang asik bermain dengan game di i-Padnya.

"Kamu kenapa?" Tanya Kharel sambil memasukkan i-Padnya ke dalam ransel.

Nathalie menoleh. "Rame ya pasti?"

"Ya menurut kamu aja gimana."

Nathalie menghela napasnya. "Aku kok rasanya pengen pulang aja?"

Alis Kharel terangkat satu. "Karena Lucy?"

Nathalie menggeleng. "Mungkin salah satunya, sih. Tapi aku cuma belum ngerasa nyaman sama papa dan mama."

"Emang kamu nggak kangen?"

Nathalie terdiam. Ia jelas sangat merindukan mereka. Ia ingin memeluk mereka, mencium kedua pipinya, dan mengucapkan selamat natal yang sempat tertunda.

"You have to be brave. Emangnya kamu mau sampe kapan diem-dieman sama papa?"

"Pengennya nggak mau."

"Terus?"

"Papa yang bikin aku takut."

Kharel menghela napasnya. Tangannya mengenggam tangan Nathalie yang dingin. Astaga. Setakut itukah Nathalie untuk bertemu Devano?

"Nat, kakak tau kamu bosen dengernya. Tapi, kejadian itu udah cukup lama. Dan mungkin papa juga khilaf nampar kamu. Kamu harus dewasa dong. Kemana Nathalie kecil kakak yang pengertian?"

Nathalie tersenyum tipis. Semua menyarankannya untuk menjadi dewasa. Apa selama ini dia belum bersikap dewasa? Menerima semua kebohongan yang diciptakan oleh keluarganya sendiri, menutupi emosinya, berusaha bersikap baik pada Lucy, tidak mengumbar masalahnya, tidak mengumbar kesedihannya, tidak mengumbar kesakitannya. Act like everything is okay. Apa itu semua masih terlihat kekanak-kanakan bagi mereka?

Piece of Heart [Why?]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang