Chapter-48

90.9K 4.1K 39
                                    

Sesuai perjanjian, Glen membantu usaha Bobby dan Rangga yang ingin membantu Keenan. Meskipun lebih banyak Bobby yang berusaha dari pada Rangga.

Glen mengetuk pintu. Mencoba berbicara empat mata dengan seseorang yang bisa membantunya.

"Ga."

Tak ada sahutan dari dalam.

"Gania. Ini mas, Ga."

"Bentar!!"

Glen menjauhkan tubuhnya setelah mendapatkan sahutan dari Gania. Hingga tak beberapa lama kemudian, keluarlah Gania dengan baju tidur berwarna biru muda itu.

"Ada apa, mas?" Tanya Gania.

"Ada yang mau mas omongin. Kita kebawah ya?"

Dahi Gania mengerut. Saudaranya itu mau membicarakan apa? Namun dia tetap mengangguk dan mengikuti Glen dari belakang.

Glen duduk terlebih dahulu disofa berwarna hijau lumut itu. Kemudian Gania mengikutinya dengan duduk disofa yang berhadapan dengan Glen.

"Mau ngomongin apa, mas?" Tanya Gania setelah mendaratkan bokongnya kesofa.

Glen menatap Gania untuk beberapa saat. Kemudian dia menunduk sembari menarik nafas panjang.

"Mas, ada apa? Kakek, ya?" Tanya Gania khawatir.

"Bukan, Ga," jawab Glen.

"Terus kalau bukan Kakek siapa?"

Glen kembali terdiam. Lidahnya terasa kelu untuk meminta Gania untuk kembali bersama Keenan. Ia takut, Gania--nya pergi dari sisinya.

"Ini gak ada hubungannya sama Kakek. Ini..."

"Ini?" Gania menatap Glen dengan lekat.

"Ini tentang Keenan."

Kali ini Gania yang terdiam setelah mendengarkan nama seseorang yang dirindukannya.

"Ini tentang Keenan, Ga. Keenan depresi ditinggal kamu,"  ucap Glen. "Bobby  sama Rangga nyuruh kamu buat ketemu Keenan besok. Mereka gak tega ngelihat Keenan terpuruk karna kehilangan kamu."

Glen menghentikan ucapannya sejenak. Ingin mengetahui reaksi Gania setelah dia mengatakan keadaan Keenan.

Namun sepertinya dugaan Glen benar. Sepertinya Gania memang masih menyayangi Keenan. Terbukti dari raut wajah Gania yang berubah menjadi raut wajah khawatir.

"Semenjak kepergian kamu, Keenan sama sekali gak pernah keluar dari kamarnya. Keenan nyesel udah dengerin omongannya Halya dari pada penjelasan kamu."

"Dulu Keenan kemana, mas? Kenapa baru sekarang?" Suara Gania tercengkak. Rasanya, pita suaranya terasa sakit untuk mengatakan pertanyaan itu. "Keenan sendiri yang minta Gania buat pergi, mas. Buat apa Gania kesana lagi cuma buat jelasin sesuatu yang gak ada artinya lagi."

Gania menunduk dalam. Jujur, dia sedih mendengar cerita Glen yang mengatakan bahwa Keenan menyesal lebih mendengarkan perkataan Halya dari pada penjelasannya.

Keenan kemana waktu itu?

Tapi bagaimana pun, Gania juga sakit hati melihat semua kelakuan dan perkataan Keenan padanya. Tingkah Keenan yang seakan tidak ada apa-apa diantara mereka.

Tingkah Keenan yang seakan menyepelekan sebuah penjelasan yang seharusnya dia dengarkan waktu itu. Dan, perjuangannya yang ingin mempertahankan hubungannya.

Bahkan dia masih mengingat saat Keenan mengatakan bahwa dirinya 'munafik'.

Gania sangat mengingat kejadian itu.

Mengingat hal itu membuat Gania tak mampu menahan tangisnya. Hingga tak terasa, setetes air mata jatuh diujung matanya.

"Maaf, mas. Gania gak bisa bantu."

Dengan segala keberatan hatinya, Gania berdiri dan langsung beranjak dari tempat duduknya tanpa menunggu respon atau pun jawaban dari Glen.

"Ga, Gania. Dengerin mas dulu!"

Percuma!

Gania sama sekali tak menghiraukan ucapan Glen yang berusaha menahannya. Ia terus menaiki tangga menuju kamarnya.

Gania takut. Takut keputusannya tergoyahkan selama masih membicarakan tentang masa lalunya.

Maafin aku, Keenan.

******


Gania gak mau. Gue udah usaha buat mujuk dia, tapi dia udah kekeh sama keputusannya.

Bobby menghembuskan nafas berat setelah mendapatkan pesan dari Glen. Usaha terakhirnya sia-sia. Gania tidak mau bertemu dengan Keenan.

Coba lagi, Glen. Please
Sent.

Bobby mengunci kembali layar ponselnya. Ia berharap, setelah Glen membalas pesannya, sebuah harapan kecil yang bermakna itu akan datang.

"Kalau Gania masih gak mau gimana?" Tanya Rangga tiba-tiba.

Bobby menoleh kearahnya. Ia terdiam sejenak untuk memikirkan jawaban apa yang pas untuk pertanyaan Rangga barusan.

Jika Gania masih menolak, cara apa lagi yang harus dia lakukan?

"Gue pikirin lagi nanti," sahut Bobby.

Rangga mengangguk paham. Ia pun tak melanjutkan kembali percakapan itu dan kembali memakan snack yang sempat dibelinya tadi disupermarket.

Sejurus kemudian, terdengar suara dering ponsel Bobby yang menandakan bahwa ada pesan masuk keponselnya. Ia pun segera membuka kunci layarnya dan membuka salah satu aplikasi chattingnya.

Gue gak bisa bujuk Gania pas lagi situasi kek gini. Di sini bukan Keenan yang sakit, tapi Gania juga.

Lagi-lagi sebuah harapan palsu menyerang relung hati Bobby. Memang benar yang dikatakan Glen. Yang sakit di sini bukan cuman Keenan, tapi juga Gania.

Sorry, gue cuma bisa bantu seadanya.

Terdapat lagi pesan dari Glen yang mengirimi perkataan maafnya. Bobby pun membalas pesan tersebut dengan kata-kata yang sangat-sangat bijak.

Gak papa, Glen. Gue ngerti
Thanks ya, udah mau bantuin
Sent.

Setelah itu, tak ada lagi balasan dari Glen. Bobby pun melempar ponselnya kearah ranjang secara sembarangan.

Seketika perasaan kecewa melanda dirinya. Sahabat macam apa dirinya ini sampai tidak bisa membantu sahabagnya yang sedang kesusahan?

"Gimana, Bob? Dia mau?" Tanya Rangga.

Bobby menggeleng pelan. "Gania gak mau."


******


Jangan lupa vote dan comment ya...

Bye,bye...

BE MINE (N E W V E R S I O N) [T A M A T]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang