Chapter-46

93.4K 4.3K 80
                                    

Sudah 5 hari sejak kepergian Gania, Keenan hanya berdiam diri di rumahnya. Saat Bobby mengajaknya untuk keluar hanya untuk menghabiskan setengah malamnya, Keenan sama sekali menolak ajakan itu.

Selama 5 hari ini pun, Keenan hanya menghabiskannya dengan termenung di kamarnya sembari memandang kearah luar jendela.

Entah apa yang dilihatnya saat itu. Yang pasti, hanya dirinyalah yang tahu apa yang difokuskan penglihatannya tersebut.

Sejak kepergian Gania pun, Glen juga ikut menghilang dari sisi Keenan. Seakan juga ikut tenggelam dalam kehilangan Gania yang pergi jauh dari mereka.

Memang benar yang kata-kata bijak yang sering Keenan dengar. "Penyeselan selalu datang terakhir". Sungguh! Dia tidak bisa mengelak pernyataan itu sekarang.

Jika dulu, dirinyalah yang menjadi sumber penyesalan para kaun hawa. Sekarang, dirinya yang menyesal karena mementingkan ego dari pada perasaan.

Bohong jika Keenan sama sekali tidak sedih ditinggal oleh Gania. Bahkan saat di bandara menuju rumahnya, dia masih menangis bagaikan anak-anak yang belum mendapatkan keinginannya.

Hal itu sontak membuat Mia--Bundanya terkejut bukan main saat melihat anak semata wayangnya bagaikan boneka yang telah tak berbentuk.

Untungnya, para sahabatnya tetap membantu Keenan sampai kedalam kamarnya dan juga menjelaskan bagaimana insiden penyebab tangis Keenan yang berlebihan.

Sungguh memilukan!!!!

Tok! Tok! Tok! (Bukan tik tok ya...)

Suara ketukan membuat Keenan menoleh kearah pintu. Tak lama kemudian, terdengar suara seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Bundanya.

"Keenan. Makan, ya? Bunda udah masak kesukaan kamu, nak."

Begitulah ucapan hangat yang selalu Mia lontarkan kepada anak semata wayangnya itu. Ibu mana yang tega melihat penderitaan anaknya yang kehilangan kekasih hatinya? Itulah yang Mia rasakan saat ini.

"Keenan. Ayo makan, nak!" Sekali Mia berujar setelah menunggu beberapa detik jawaban dari Keenan.

Dan seperti biasa, tak ada sahutan dari dalam kamar itu. Bahkan, suara derap kaki dari dalam kamar tersebut pun sama sekali tidak terdengar.

Sudah 3 hari ini Keenan tidak menyentuh makanan. Bahkan anaknya itu tidak keluar dari kamarnya sama sekali.

"Keenan??" Mia membuka pintu kamar anaknya itu secara perlahan. Dan hal pertama kali dilihatnya adalah, Keenan berada dilantai dengan posisi miring.

Sebenarnya, Keenan hendak membukakan pintu saat mendengar suara Ibunya. Namun rasa pusing yang melanda kepalanya tak mampu ditahannya lagi.

Secara tak sadar, tubuhnya terasa oleng dan langsung terjatuh kelantai. Hal terakhir yang dirasakannya saat itu hanyalah rasa sakit tubuhnya yang terbentur oleh yang keras.

Sontak membuat Mia membulatkan matanya dan langsung mendekat kearah Keenan yang telah tak sadarkan diri.

"Keenan! Bangun, nak!"

Mia mengangkat kepala Keenan agar berada diatas pahanya. Tangannya mengelus pelan sembari sesekali menepuk pipi anaknya itu agar sadar.

"Nak, ini Bunda. Bangun, sayang!"

Namun sayangnya, Keenan tetap menutup matanya tanpa berniat menyahuti kekhawatiran Bundanya tersebut.

"Bertahan demi Bunda, sayang."

******


Disinilah sekarang Keenan. Berada diatas ranjang dengan selang infus yang menacap dilengannya.

Kondisinya yang tadi sempat memburuk hingga tak sadarkan diri, kini telah berangsung normal. Meski harus dibantu oleh beberapa obat-obatan untuk membantu kepulihan tubuhnya.

Mia--yang sedari tadi duduk disebelah Keenan terus menerus menangis tanpa henti. Kehilangan Keenan adalah mimpi buruk dalam hidupnya. Ia tak ingin kehilangan Keenan seperti kehilangan orang tuanya dulu.

"Jangan sakit, sayang. Bunda gak bisa lihat anak Bunda sakit gini. Hiks..." Mia mencium punggung tangan Keenan yang terbebas dari selang infus.

Keenan tak menjawab perkataan Bundanya. Ia hanya terdiam meski Mia yakin, Keenan mendengarkan ucapannya.

"Bertahan ya, sayang. Demi Bunda." Lagi-lagi Mia berucap seakan memberi semangat untuk anaknya. Tak peduli jika anaknya itu tidak mendengarkannya atau tidak.

Sedangkan dibelakangnya, Gilang--Ayahnya Keenan menatap iba anak semata wayangnya itu. Sebegitu cintanya kepada seorang gadis hingga menyakiti tubuhnya sendiri?

Dulu dirinya tidak begitu. Bahkan jika diingat, dulu dirinya dan istrinya tidak pernah bertengkar. Jikalau pun bertengkar, maka akan ada salah satu dari mereka yang mengalah.

Dasar! Anak remaja labil memang sudah berubah sekarang.

"Keenan bakal sembuh, kok. Percaya sama aku, ya?" Gilang memegang bahu istrinya yang masih terasa bergetar itu.

Bagaimana pun, dia juga tidak tega melihat istrinya menangis seperti ini. Sebenarnya, dia juga tidak tega melihat Keenan seperti ini. Tapi apa boleh buat? Keenan terlalu galau....

"Anak kita, Yah. Keenan. Hiks... hiks...." tangis Mia semakin pecah. Rasanya, dia tidak sanggup lagi melihat Keenan seperti ini.

"Iya, iya. Keenan anak kita, Bun. Kalau kamu nangis gini, gimana Keenan mau sehat?" Ujar Gilang berusaha menyakinkan Mia. "Udah ya nangisnya?"

Mia pun mengangguk pelan meski tangisnya tak dapat dia tahan. Benar yang dikatakan oleh Gilang, Keenan tidak akan sembuh jika dirinya lemah seperti ini.

"Bunda sayang Keenan. Jangan tinggalin Bunda ya, sayang."

*****

Punya Bunda kek Bunda Mia enak ya😂😂😂

Jangan lupa vote dan comment ya

Bye,bye.....

BE MINE (N E W V E R S I O N) [T A M A T]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang