Chapter-38

85.7K 4.2K 34
                                    


  Untuk pertama kalinya aku menyukai hujan yang deras. Dimana dulu, aku menganggap hujan deras adalah sebuah bencana kecil yang melambangkan kesedihan.

  Tapi sekarang, aku menikmati setiap tetesan air hujan ini meski terasa sedikit perih saat mengenai kulit ku.

  Aku menari. Berputar-putar sembari meloncat-loncat bagaikan anak kecil yang kegirangan bisa bermain ditengah derasnya air hujan. Apa lagi, aku melakukan ini ditengah koridor jalan tanpa memperdulikan tatapan orang yang melihat ku.

  Biarlah orang menganggap yang dilakukan oleh ku ini adalah suatu keanehan. Yang penting, saat ini aku bisa sedikit menghilangkan rasa sakit yang menyelimuti hati ku.

  Dua kali hati ku merasakan sakit. Dua kali aku berusaha mencari sebuah pelampiasan rasa sakit ini.

  Dulu, aku mencari pelampiasannya dengan diam dan pergi. Sekarang, aku mempelampiaskannya dengan menangis ditengah-tengah hujan.

  Mungkin dengan ini, aku bisa sedikit menghilangkan rasa sakit dan kecewa yang ku rasakan saat ini.

  Kata-kata itu terangkai sendiri dari diri Gania. Memaknai setiap gerakan-gerakan tubuhnya ditengah hujan itu.

  Sore itu hujan turun dengan derasnya membasahi permukaan bumi. Seperti mengerti bahwa ada seseorang sedang menumpahkan semua kesedihannya dengan air mata.

  Disaat semua orang yang berlalu lalang akan menepi untuk mencari tempat berteduh, Gania tetap berdiri dikoridor jalan tanpa ingin menepi untuk berteduh sama sekali. Ia masih tetap bertahan diguyur air hujan yang deras itu.

  Sesekali telapak tangannya mengusap-ngusap bahunya yang tak terkena kemeja sekolahnya. Tubuhnya sudah basah kunyup.

  Rasa dingin itu sepertinya kalah menyakitkan dari pada perasaan sedih yang ia rasakan sekarang.

"Kenapa sih lo tega banget sama gue Kee?"

  Kenapa Keenan bisa berpikir bahwa Gania itu sama dengan para mantan-mantannya?

  Kenapa Keenan begitu tega menganggap Gania munafik karena hanya melihat satu kejadian?

  Apa artinya 'jangan main hakim sendiri jika kita tidak tahu masalahnya' kalau Keenan saja tidak mau mendengarkan penjelasannya?

"Kenapa Kee, kenapa?!"

  Perasaan yang sedang Gania alami itu lebih menyakitkan dari pada kehilangan seluruh hidupnya dulu.

"Aaaaaaa.........!!!"

  Setelah puas berteriak tak jelas dibawah guyuran hujan, Gania memutarkan tubuhnya sembari merentangkan kedua tangannya.

  Seakan dengan ia bergerak seperti itu, rasa sedih hatinya akan luntur oleh air hujan.



******


  Sedangkan  ditempat lain, Keenan berdiri dihadapan jendela kamarnya sembari melihat hujan deras.

  Pikirannya berkecambu kepada Gania yang menamparnya. Seharunya, Keenan lah yang melakukan itu. Tapi kenapa Gania menamparnya?

  Keenan binggung dengan semua yang terjadi. Ia berusaha menolak semuanya pikiran negativnya. Tapi mengapa hati dan pikirannya tidak bisa sejalan?

   Hanya beberapa jam kejadian tadi, secara otomatis perubahan sikap Keenan terlihat jelas.

  Disaat Keenan selalu menampakkan kebahagian, sekarang Keenan menampakkan sebuah raut kesedihan.

  Bohong jika Keenan tidak ingin mendengarkan penjelasan Gania. Ia ingin. Sangat ingin malahan. Tapi egonya selaku berhasil menguasai dirinya.

"Keenan?"

  Semua lamunan Keenan terhenti saat namanya dipanggil seseorang. Ia menoleh dan mendapati bundanya sedang berdiri diambang pintu sembari membawa segelas teh hangat.

  Keenan tersenyum hangat melihat bundanya mendekat kearahnya.

"Iya, bun?"

"Tumben kamu ngelihatin hujan sampai begitunya? Biasanya juga kamu tidur kalau hujan deras begini," ucap Mia sembari meletakkan segelas teh hangat yang dibawanya tadi kemeja.

"Satu lagi. Kamu biasanya kalau hujan begini pulangnya agak telat karena nganterin Gania. Kenapa pulangnya cepet?" Tanya Mia lagi.

  Keenan menghela nafas lalu mengambil segelas teh hangat itu dan meminumnya.

"Keenan lagi males aja, Bun," jawab Keenan setelah meminum tehnya.

"Males, kenapa?"

"Gak kenapa-napa sih."

  Mia mengerutkan dahinya. Tumben sekali Keenan begini? Biasanya jika ia membicarakan tentang Gania, Keenan akan menganggapinya dengan semangat.

"Ada masalah sama Gania?"

  Keenan menggeleng pelan. "Gak ada, bun."

  Mia mengangguk paham. Ia tahu, anaknya ini sedang ada masalah dengan pacarnya. Ya, meski Keenan tidak mengatakannya dengan langsung. Mia yakin, mereka berdua pasti sedang mengalami masalah.

"Yaudah, kalau gak ada masalah," ujarnya. "Bunda mau cerita boleh?" Tanya Mia.

  Keenan menoleh dan menatap bundanya dengan tatapan yang tak biaa diartikan. Beberapa detik kemudian, Keenan mengangguk lemah.

"Kadang, ego bisa menghancurkan semuanya," ucap Mia tertahan.

  Keenan menatap Mia seperti seseorang yang sangat penasaran dengan kelanjutan cerita yang diucapkan bundanya itu.

"Disaat kita disuguhkan dua pilihan yang diantara keduanya, kita sama-sama gak bisa milih. Disaat itulah, kadang kita bermain dengan ego.

"Tapi tak sedikit juga, saat kita memilih bermain dengan ego, pilihan yang kita buat itu salah."

"Maksud, bunda?"

  Mia tersenyum setelah melihat respon anaknya. Berarti, Keenan mau mendengarkan ucapannya.

"Suatu saat nanti kamu pasti tahu!" Ujarnya. "Bunda harap kamu bisa mengendalikan antara ego dan perasaan kamu."

  Seperti tertampar karena ucapan Mia. Keenan terdiam. Ia mencerna kata-kata bundanya tentang ego dan perasaan.

  Apa yang dilakukannya ini salah?

 

 

******

Jangan ditanya lagi, Kee!
Tindakan lo itu memang salah!

Eh, kok saya yang marah ya?

Hehe...

Selamat membaca,
Jangan lupa vote dan comment💞💞💞

BE MINE (N E W V E R S I O N) [T A M A T]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang