Indraka

307 35 1
                                    


Jadi seperti ini rasanya bahagia. Sepuluh tahun kenal Farhana belum pernah dia tersenyum padaku, baru kali ini.

Aku meletakkan gitar. Aku tinggalkan panggung dan membuat Cicak melongo. Dia tidak bereaksi melihatku menghampiri tempat duduk Farhana.

"Suka lagunya?"

Dia mengangguk. Kemudian menunduk.

"Kalau aku nyanyi lagi, kamu mau aku nyanyi lagu apa?"

Dia mendongak. Bola matanya bergerak-gerak seakan berpikir.

"Na, kita kesini mau belajar kan?" sela Gilang.

Konsentrasi berpikir Farhana terpecah.

"Tadi sudah belajar. Lagian ini malem Minggu. Masa dengerin satu lagu ga boleh?" sergahku.

"Tadi dia sudah dengerin satu lagu kamu. Full."

"Ya tambah satu lagi kan ga pa-pa."

"Ya sudah Na, kalau kamu sudah cukup belajarnya kita pulang saja," ajak Gilang.

"Apaan pulang. Biar Nana disini. Nanti aku yang antar."

"Tadi dia bareng aku. Pulang ya bareng aku."

"Loh, kamu kan mau pulang. Ya pulang aja. Farhana sama aku aja."

"Maksudmu apa? Mau bilang aku ga tanggung jawab?"

"Itu kamu yang bilang, bukan aku."

"Mau ngajak perang nih?"

"Boleh."

Farhana bangun dari tempat duduk.

"Hey! Kalian ini apaan sih? Sudah. Aku mau pulang sendiri."

Kembali aku melihat Farhana jaman aku SD. Anak yang jutek, suka marah-marah dan tanpa senyum.

"Jangan Na, ini jauh dari rumah kamu. Bentar aku ijin teman-teman dulu."

"Makanya aku yang antar Farhana."

Gilang merasa dapat peluang.

"Ga usah. Aku mau telpon bang Agam."

"Bang Agam kan lagi di Bandung, Na. Kuliah."

"Dia punya teman driver ojol. Cewek. Puas kalian?"

Dia merapikan bukunya, menelpon abangnya dan pergi.

Indraka dan FarhanaWhere stories live. Discover now