Farhana benar-benar menjaga jarak denganku. Lebih berjarak dari biasanya. Senyumnya tetap malu-malu. Hanya itu yang membuat aku yakin bahwa anak itu betul-betul menjaga hatinya untukku. Meski aku kadang geregetan ingin memproklamasikan pada seluruh penduduk dunia bahwa dia pacarku sekarang, tapi daripada ga disapa Farhana, aku ikut saja aturan mainnya. Ingin geleng kepala sebenarnya. Biasanya orang pacaran backstreet itu karena menghindar dari intrograsi orang tua. Ini sama teman-teman pun harus diem-dieman. Gimana ga gemes?
Tapi ternyata gerakan diem-dieman kami itu justru membuat teman-teman terutama sahabatku curiga kami ada masalah. Seperti hari ini si Cicak bertanya dengan serius padaku.
"Drek, kamu ada masalah ya sama Nana?"
"Ga. Kenapa kamu berpikir begitu?"
"Lah, biasanya meski kalian ga akur tapi kan masih ngomong. Ini ga. Diem-dieman."
"Kalo ga ada yang diomongin ya diem aja. Masa harus ngobrol. Apa model cewek macam Nana seperti itu?"
"Justru itu aku tanya. Biasanya ga ada apapun kamu selalu cari-cari masalah biar bisa ngobrol sama Nana. Ini ga. Kamunya juga anteng."
Deg!
Gitu ya? Mereka sampai mikir sedetil itu? Apa aku dulunya iseng banget sampai cari-cari masalah untuk ngobrol sama Nana?
Sejenak aku berpikir, sepertinya iya. Aku jadi senyum sendiri.
"Ndrek, kok senyum-senyum sendiri? Aku nanya serius ini."
"Aku dulu setengil itu ya, Cak?"
"Memangnya sekarang ga? Sejak kapan kamu tobat?"
Ingin benar aku jawab, sejak jadi pacarnya Nana. Tapi si Cicak ga bisa jaga omongan. Maksudnya omongan model begini bagi Cicak harus diumumkan. Sementara Nana ga suka.
"Lah, kan tadi kamu bilang aku sudah mulai anteng."
"Duh, ngomong sama kamu kenapa jadi muter-muter begini ya?"
"Maksud kamu?"
"Tadi kan aku nanya, kamu ada masalah ga sama Nana?"
"Kan sudah aku jawab ga ada."
"Terus kenapa diem-dieman?"
"Ya karena ga ada yang harus diomongin."
"Sudah ga pengen ngomong sama Nana lagi?"
Aku diam.
"Sudah ga tertarik sama Nana lagi?"
Aku tetap diam.
"Sudah nyerah deketin Nana?"
Sekali lagi, aku diam.
"Atau jangan-jangan, kamu justru sudah mendapatkan hatinya?"
Kali ini aku terhenyak. Ekspresi terkejut mungkin sangat terlihat si wajahku.
"Ndrek, beneran?!"
Meski kalimat itu diucapkan dengan keterkejutan luar biasa, tapi volume suaranya mengecil. Aku sangat bersyukur.
"Sejak kapan?" tanyanya lagi.
Aku melirik ke belakang. Kulihat Farhana sedang mencatat sesuatu.
"Sudah diam. Ga usah tanya-tanya."
"Loh, justru ini harus jelas."
"Sudahlah Cak. Cukup kami berdua yang tahu."
"Cieee...gitu ya sekarang."
"Diem, jangan keras-keras."
Lah kok ini anak malah senyam-senyum melihat ke arah Farhana. Apesnya, Nana juga melihat ke arah kami. Bola matanya membulat seakan mencari jawaban.
"Aku tanya dia ya?" ujar Cicak dan langsung berdiri. Dia berjalan menuju bangku Farhana.
Adduh...
YOU ARE READING
Indraka dan Farhana
Teen FictionBuat Indraka, Kamu kapan tobat? Farhana Buat Farhana, Kamu kapan ngeliat aku? Indraka