"Na, Indraka itu pacarmu ya?" tanya Adis tiba-tiba, saat bikin janji mau ke kafe waffle, di kantin, saat istirahat siang itu.
"Enggak, kenapa?"
"Masa? Kok bu Nining sampe nyindir kalian di kelas ku?"
"Hah?! Apa katanya?"
"Kalo mau pacaran liat tempat. Jangan kayak anak kelas sebelah, masak pacaran ga kenal waktu?"
"Masa itu nyindir kami?"
"Memang bu Nining ga nyebut nama, tapi teman-teman langsung rame."
Aku langsung pias. Ada rasa marah di dada, hanya saja aku tidak tahu harus bagaimana. Yang ngajak ngobrol di luar kelas kan aku. Maksud hati agar tidak ada yang tahu kalau aku yang merusak gitar sementara yang harus mengganti Indraka. Maksud hati agar tidak ada fitnah bahwa Indraka berkorban untukku atau aku yang tidak tahu diri. Maksud hati agar tidak ada kecurigaan bahwa pengorbanan Indraka mengambil alih tanggung jawab adalah karena ada hubungan lebih dari sekedar teman diantara kami. Maksud hati agar hanya kami berdua yang tahu realitas dibalik kejadian ini. Tapi...maksud hati tak sampai di pikiran orang lain.
Sejenak aku teringat Indraka. Jangan-jangan seperti ini rasanya ketika aku selalu tidak percaya pada niat baiknya. Dia pernah bohong sekali padaku, tidak sholat dhuhur dan menolak aku pinjami sarung. Dulu, saat dia belum akil baligh. Dulu, saat dia masih sewajarnya jadi anak kecil. Dulu, ketika dunia bagiku adalah hitam putih, dosa dan pahala.
"Ah, itu mereka kan cuma menebak-nebak Dis," sahutku mencoba mencairkan kegalauan hatiku sendiri.
"Yakin? Indrek sering loh ngomongin kamu. Lebih dari ngomongin cewek lain," jawab Adis.
"Dia sering ngobrol sama kamu?"
Maksud hati ingin membalas Adis yang menyudutkan aku. Eh ternyata....
"Pas latihan, Na. Ngobrol sama dia kapan waktunya? Sekelas enggak, di rumah jarang, ga ada bahan, cuek bebek tingkat dewa."
"Indraka cuek? Tengil kali!"
"Tuh kan, jangan-jangan cuma sama kamu dia panjang kalimat."
"Enggak kok, kami jarang ngobrol," elakku.
"Masa?"
"Bener!"
"Ngobrol sama Indrek kayaknya seru ya, Na. Anaknya asyik."
Aku hanya mengangkat bahu.
"Manis lagi."
Uhuk! Indraka? Manis? Bentar....aku terakhir ketemu sama dia kemarin. Ga ada manis-manisnya tuh. Eh..tapi, memangnya aku sempat memperhatikan wajahnya? Ngomong juga seperlunya. Ah...ngapain juga dipikirin?
"Jadi pacarnya enak kali ya, Na?"
Uhuk! Si Adis kayaknya suka Indraka.
"Mana aku tahu Dis? Kenapa ga kamu coba?"
Aduh, ini nasehat model apa?
"Beneran, Na? Kamu ga marah? Kamu ijinin?"
Aku terbelalak. Sudah aku salah ngomong. Salah ngasih nasehat. Tapi ternyata si Adis malah berbinar.
"Dulunya aku khawatir dia pacarmu. Kalo jelas begini kan lega."
Obrolan selesai. Tapi tidak hati dan pikiranku.
YOU ARE READING
Indraka dan Farhana
Teen FictionBuat Indraka, Kamu kapan tobat? Farhana Buat Farhana, Kamu kapan ngeliat aku? Indraka