Selamat hari Minggu...
Maaf, lama ga update. Sempat sakit dan minggu lalu lagi jalan ke London. Jadi...beginilah. Dimaafkan ya....
Happy reading...
Jangan ditanya bagaimana bahagiaku mendapat anggukan dari Nana. Usahaku mendekatinya memang tanpa jeda. Tapi dia bukan tipe perempuan yang mau ditembak dengan gegap gempita, heboh dan seluruh dunia tahu. Dia tipe cewek yang mau mengerti tembakan halus tanpa ada orang lain yang tahu. Tembakan halus? Ini istilah yang baru aku sadari gara-gara cara aku bilang ke dia ga pake bunga, ga pake tempat dan acara. Cukup bilang kalau dia ga bakal menghadapinya sendirian. Aku cukup meyakinkan dia bahwa aku tidak main-main. Cukup. Tanpa ucapan, hanya anggukan. Dan buatku itu sudah sangat berarti.
Hanya saja, setelah anggukan itu gerakan tubuhnya diikuti oleh hindaran. Dia menghindariku. Ketika aku menoleh padanya, dia mengarahkan pandangannya ke tempat lain. Ketika aku mendatanginya, dia pura-pura ngobrol serius dengan yang lain. Jelas aku jadi bingung. Biasanya orang pacaran kan jadi senang. Senyum ditebar kemana-mana, proklamasi biar ga ada yang nikung pasangan, janjian berdua sesering mungkin, kalau bisa gandengan setiap jalan. Nana tidak. Senyum malunya di telan. Tatapan rindunya didekap. Gerakan kepalanya diatur menghindariku. Jadi, kami ini pacaran tidak?
Akhirnya pulang sekolah ini aku mencegatnya di parkiran. Tadi kulihat dia ke sekolah naik motor. Keseringan menghindari, aku jadi tahu cara menghadapinya. Aku menunggunya di atas motornya. Dia terlihat kaget. Aku tersenyum lebar.
Sambil menunduk dia bertanya," Ada apa?"
"Ke bakso pojok yuk," ajakku.
"Sudah sore, Ndrak."
Aku tahu dia menghindar, meski aku juga paham bahwa dia akan kesulitan mencari alasan pada mamaknya.
"Ada yang mau aku omongin," jawabku.
"Disini saja kalo gitu," jawabnya.
"Yakin? Ntar ada yang liat kamunya bingung."
Dan dia bingung beneran. Aku menahan tawa.
"Makanya, ke bakso pojok aja. Bentar aja. Ngobrolnya sambil makan," kataku.
Dia masih diam. Sepertinya dia ingin mengemukakan sesuatu. Dan ingatlah aku.
"iya...iya...ga ada tukeran mangkok lagi. Kita makan sendiri-sendiri."
Dan terlihatlah sumringah di wajahnya.
"Mau?" tanyaku meminta kepastian.
Dia mengangguk, pelan.
****
"Mau ngomong apa?" tanyanya tanpa basa-basi.
Apa memang begini pacaran sama anak alim ya?
"Kalo kita go public gimana?"
Aku juga menjawab tanpa jeda. Hanya menunggu mas-mas penyaji bakso datang. Eh, iya, kali ini dia memesan mie ayam dan aku pesan bakso.
"Go public? Apaan? Memangnya kita punya perusahaan?"
Aku langsung ngakak. Dia pikir mau jualan saham mungkin.
"Na, kita kan jadiannya kemarin, gimana kalo setiap tanggal kemarin kita rayakan?"
"Hah? Apaan? Alay begitu?"
Bener kan, dia ga suka model anak remaja sekarang.
"Ok, maunya tiap tahun? Belum tentu loh, tahun depan kita masih bareng."
Matanya langsung melebar.
"Maksud kamu apa? Kalo niat kamu ga lanjut ya bilang sekarang aja. Aku ga mau mikir hal-hal ga penting yang ga diniati lanjut," ujarnya.
Aku yang terhenyak. Ternyata anggukannya sakral. Dalam kamusnya pacaran itu serius, bukan sekedar senang-senang. Aku yang khawatir. Bukan apa-apa, kami masih SMA!
"Aku niat serius, Na. Sungguh. Karena itu aku ngajak kamu pengumuman, biar semua orang tahu."
"Penting?"
"Menurutmu?"
"Ga!"
"Kenapa?"
"Memangnya orang nikahan pake pengumuman? Kalo mereka memang wajib biar ga timbul fitnah. Kita apaan? Ntar nambahin fitnah!"
Adduh, maksudnya apa nih? Puyeng juga diskusi sama anak ustadz.
YOU ARE READING
Indraka dan Farhana
Teen FictionBuat Indraka, Kamu kapan tobat? Farhana Buat Farhana, Kamu kapan ngeliat aku? Indraka