Update kedua hari ini. Light shower masih berlanjut di Leeds. Jadi, happy reading ya kawans...!
Sejak sore itu, aku tidak lagi berani ketemu Indraka. Aku malu. Kesal juga sih. Sebenarnya dulu juga pernah ga pengen ketemu. Pas setelah kejadian dihukum gara-gara bola volley itu. Tapi gara-gara gitar, jadi aku yang ngejar-ngejar dia mau ngomong. Aku jagi bingung, ada takdir apa antara aku dan Indraka. Tak kurang-kurang aku menghindarinya. Tak pernah aku lebih berbicara dengannya. Tapi kenapa kondisi membuatku berkomunikasi dengannya? Tak jarang dia hadir sebagai dewa penyelamat.
Sesuai perjanjian, besok sore, aku harusnya hadir ke kafe waffle dijemput Adis. Aku ingin menghindar kali ini. Aku sedang memikirkan caranya. Duh, ini gara-gara dia lagi hidupku jadi tidak tenang. Aku tidak pernah melakukan intrik-intrik seperti ini. Suka ya aku bilang suka, ga bisa yang aku jujur mengakuinya. Ini, sebenarnya aku bisa hadir, tapi tidak mau hadir. Tuh kan, jadi bikin dosa. Ingin minta bantuan Dianti, tapi khawatir melibatkan kakaknya. Keterlibatan itu bisa bikin Indraka tambah agresif. Aku ga mau.
Aku sedang membereskan peralatan tulisku sebelum menuju kantin di jam istirahat ini ketika sebuah tangan memperlihatkan secarik kertas di depanku. Sejenak bingung. Aku menengadah mencari si empunya tangan. Ada Indraka disana, masih dengan senyum yang sama. Aku menelan ludah. Nilai ulangan fisikanya 100! Duh, terus gimana ngomongnya sama Kak Gilang.
"Sampai sekarang kamu belum bilang jadwal belajar kita. Jadi aku yang nentuin. Sabtu jam 10, bahasa Inggris di perpus kota," katanya.
"Ga bisa, Dra. Jam segitu aku belajar fisika sama kak Gilang," jawabku.
Senyum di bibir Indraka langsung menghilang.
"Ga pa-pa, Na. Nanti aku bilangin kak Gilang belajarnya jam 8," kata Dianti tiba-tiba.
"Jam 8 apaan? Kalian ga liat nilai fisikaku 100? jam 8 kita belajar fisika, Na!" sahut Indraka dengan nada memerintah.
"Kok gitu sih, Drek?" tanya Dianti.
"Kok kamu yang keberatan, Di? Memang kamu managernya Farhana?" balasnya.
"Tapi aku ga enak ke kak Gilang, Dra," kataku, akhirnya.
"Ntar aku bantu bilangin," jawabnya.
"Tapi itu artinya aku seharian sama kamu," kataku lirih.
Kalimat terakhirku membuat senyumnya merekah kembali.
"Ya itu resiko kamu," katanya, tetap dengan senyum lebarnya.
"Resiko aku?" tanyaku bingung.
"Iya, resiko jadi orang yang aku kangeni sepanjang waktu."
Wajahku langsung menegang, badanku panas dingin. Dan Dianti, dia melotot tajam.
YOU ARE READING
Indraka dan Farhana
Teen FictionBuat Indraka, Kamu kapan tobat? Farhana Buat Farhana, Kamu kapan ngeliat aku? Indraka