Kalau bukan karena keseringan manggung pake lagu berbahasa Inggris, aku mungkin juga tidak tertarik pada pelajaran ini. Tapi itulah sisi manfaatnya. Aku terpaksa mengerti kosakata yang aneh-aneh dan belajar grammar agar mengerti maknanya.
Aku perhatikan anak pak ustadz disebelahku ini. Anak ini memang kalau belajar beneran ya. Dia selalu serius. Padahal aku ngajarnya santai-santai saja. Beda dengan dia yang sampai mengerutkan dahi. Tanpa sadar aku tersenyum. Lah kok dia noleh.
"Ngapain senyum-senyum?" tanyanya galak.
Aku langsung mengembalikan letak bibirku pada posisi semula.
"Ini bener ga?" tanyanya sambil menyodorkan bukunya.
Aku tidak bisa lagi memperhatikan yang punya buku lebih lama. Aku harus mereview pekerjaannya.
Tapi setelahnya aku bisa tersenyum.
"Gimana?"
"Salah disini saja. Ingat ya, untuk I harus pake aren't I. ok?"
Dia mengangguk.
"Makasih ya, Ndra."
Entah kenapa setiap kali dia berterima kasih padaku selalu ada rasa hangat di dada. Mungkin karena selama ini ga ada yang begitu padaku. Semuanya menganggap hal yang biasa.
Dia bangkit dari bangku sebelahku menuju tempat duduknya.
"Na...," gumamku. Dia menoleh, mendengar.
"Apa?"
"Cuma kamu yang sampe sekarang manggil aku Indra."
"Kamu ga suka?"
Aku menggeleng.
"Bukan ga suka. Tapi kamu teman yang ga pernah memandang rendah aku," kataku. Entah kenapa aku mengatakannya. Tapi memang cuma dia yang begitu.
Dan kulihat wajahnya kebingungan.
YOU ARE READING
Indraka dan Farhana
Teen FictionBuat Indraka, Kamu kapan tobat? Farhana Buat Farhana, Kamu kapan ngeliat aku? Indraka