Farhana

280 31 0
                                    


Gara-gara bang Agam yang sok kenal dan sok dekat sama Indraka, begini jadinya. Pagi-pagi di sekolah, ketemu Indraka di lapangan upacara, dia sudah senyum-senyum padaku. Aku tetap pasang muka kaku. Enak saja. Ini harga diri.

"Jadi kapan belajar bahasa Inggris lagi?" tanyanya setengah berbisik.

Aku diam tak menjawab.

"Disuruh bang Agam loh!"

Aku semakin sewot.

"Amanah loh, Na."

Sambil menghela nafas, aku hadapkan mukaku padanya.

"Dengar ya Dra, perjanjiannya kan kalau kamu dapat nilai 100. Sampai sekarang kan belum?"

"Terus, si Gilang-mu itu sudah dapat nilai 100 semua ya, sampai bisa ngajari kamu semua pelajaran?"

Sinis benar balasannya. Aku tertohok, tak bisa menjawab.

"Pulang sekolah ya. Di perpus kota."

Ini anak maksa banget.

"Ga. Aku harus pulang. Ntar dicariin mamak."

"Aku sudah dapet ijin dari bang Agam. Kata bang Agam dia yang bakal bilangin ke ustadz Jamal."

Jelas aku kaget. Cepat sekali geraknya.

"Aku ga bawa motor, Dra. Naik bemo muter. Capek di jalan."

"Aku bonceng."

"Ga mau!"

"Jadi kalau dibonceng Gilang mau?"

Kembali aku terdiam. Setelah sekian detik, baru kami tersadar bahwa teman-teman di barisan sudah melihat ke arah kami semua. Ternyata komunikasiku dengan Indraka menanjak. Mulai berbisik hingga berteriak. Dan aku malu.

"Pokoknya, pulang sekolah tunggu aku di parkiran!"

Indraka dan FarhanaWhere stories live. Discover now