Dia sedang mengerjakan tugas seni rupa ketika aku mendekatinya. Tangannya sibuk mengarsir kertas dengan pensil.
"Kemarin ke kafe waffle ya?" tanyaku.
Dia terkejut.
"Kok tahu?"
"Kok mau diajak ngafe?"
Aku tidak menjawab pertanyaannya karena pertanyaanku lebih penting untuk dijawab.
"Kan diajak Dianti. Sama Mamak lagian boleh kok."
"Kalo yang ngajak Dianti boleh?"
Dia mengangguk.
"Kalo Khadijah?"
"Aku ga tahu. Belum nanya mamak."
"Kalo sama aku?"
Matanya langsung melotot. Seram. Tapi aku suka.
"Kok bisa janjian di kafe?" tanyaku lagi.
"Aku ga janjian Dra. Abis belajar fisika di rumah Dianti."
"Belajar sama Dianti? Memang kita ada kelompokan fisika?"
"Ya ga ada. Aku kan ga bisa fisika. Dianti nawari kalo aku mau belajar sama kak Gilang."
"Kamu belajar sama Gilang?!"
Intonasiku mengeras lantaran kaget. Ngapain anak ini belajar fisika sama ketos itu? Aku melihatnya menutup kedua telinganya.
"Apaan sih Dra, teriak-teriak?"
"Ngapain kamu belajar sama dia?"
"Lah memangnya kenapa?"
"Ga ada yang lain selain dia?"
"Kalau dia kenapa?"
"Dia itu tidak sesempurna yang kamu bayangin Na."
"Terus apa hubunganya dia tidak sempurna dengan belajar fisika?"
Aku terdiam. Aku juga ga tahu harus bilang apa. Kemampuanku dalam bidang fisika juga tidak bisa dibanggakan.
"Kamu yang mau ngajari aku?"
Kalimatnya terkesan melecehkan. Tapi entah kenapa aku tertantang.
"Iya."
"Emang kamu bisa?"
"Kalo aku bisa, kamu mau kan belajar sama aku?"
Sekarang giliran dia yang terkejut.
"Begitu nilai ulangan harianku 100, kamu harus belajar fisika sama aku. Ngerti?"
Dia terperangah. Dan aku menyeringai yakin.
YOU ARE READING
Indraka dan Farhana
Teen FictionBuat Indraka, Kamu kapan tobat? Farhana Buat Farhana, Kamu kapan ngeliat aku? Indraka