Indraka

248 29 0
                                    


Kalau sudah begini, mau tidak mau kami harus masuk kelas. Belum lagi bu Nining menyangka kami pacaran. Jangan dibayangkan bagaimana warna wajah Farhana. Anak alim dikira pacaran itu bagai orang baru bergabung tapi dikira nyuri start. Dia pasti malu dan marah sekali. Hanya saja dia tidak bisa membantah.

Farhana gitu loh, mana berani dia protes sama guru.

Aku biarkan dia sejenak berkecamuk dengan perasaannya. Dia harus belajar bahwa hidup tidak selalu teratur seperti yang dia bayangkan. Kadang orang mencurigai kita karena dia tidak tahu. Dan Farhana harus juga tahu rasanya. Agar dia juga tahu bagaimana rasaku dicurigai sebagai anak bengal tak berkesudahan.

Saat istirahat, akhirnya aku menghampirinya. Tapi yang nyolot justru Dianti.

"Belum selesai juga ya, Drek?"

"Apaan sih. Aku perlunya sama Nana kenapa kamu yang sewot?"

Dia melengos.

"Ayo ke kantin, Na," ajaknya pada Farhana.

"Duluan Di. Bentar aku nyusul," jawabnya.

Aku langsung mencibir Dianti.

"Yakin kamu bakal ngomong sama anak ini?"

Farhana mengangguk.

Jengkel, Dianti beranjak dari bangkunya.

"Jadi, ganti ruginya apa, Dra?"

Dengar suara melasnya bikin aku ga tahan untuk diam. Duh Na, kamu memang pantas dimodusin. Kalo ga lugu begini, mana bisa aku modusin kamu?

Aku menyentuh dagu sambil melebarkan bibir.

"Apa, Dra?"

"Datang ke kafe waffle 3 kali. Dua minggu sekali!"

"Dra, Dianti sudah ga mau lagi ngajak aku ke sana. Aku ga mungkin kesana sendirian kan?"

"Kalo bareng aku gimana?" godaku.

Dia tidak menjawab. Dari siluet pipinya aku tahu dia cemberut.

"Ga usah merajuk begitu. Nanti aku minta Adis yang jemput kamu."

"Hah?!"

"Tenang, ntar aku kenalin sama dia."

"Tapi..."

"Dia tetanggaku. Jadi ga terlalu jauh dari rumahmu."

Dia terdiam.

"Kamu ga perlu kesana tiap minggu. Dua minggu sekali, pas Adis jemput."

Dia tetap diam.

"Gimana?"

Dia tertunduk. Dan aku simpulkan itu tanda setuju.

Indraka dan FarhanaWhere stories live. Discover now