Langkahnya aku jejeri ketika Adis meninggalkannya menuju kelas. Dia menoleh padaku sekilas. Senyum termanis aku berikan padanya. Meski tanggapannya seperti biasa, jutek.
"Ngapain sanyam-senyum?"
"Loh? Ga boleh? Senyum kan sedekah," balasku.
Dia terdiam. Pandangannya lurus kedepan. Jalannya dipercepat. Langkahku mengikuti irama jalannya. Dia kemudian berhenti mendadak. Aku yang hampir melebihi langkahnya, juga ikut berhenti. Tindakanku ini membuatnya menoleh padaku dengan pupil mata melebar.
"Ngapain ikut-ikut?"
"Ikut apaan?" tanyaku.
"Jalanmu," sahutnya.
"Lah, aku mau ngomong sama kamu tapi kamu jalan terus. Tambah cepat lagi," ujarku.
Dia melipat tangan di dada.
"Oke, kamu mau ngomong apa?"
"Adis tadi sudah bikin janji sama kamu?"
"Sudah."
Busyet, pendek amat jawabnya.
"Terus?"
"Ya ga ada terusannya."
Adduh, ini cewek. Ga peka amat. Aku kan pengen denger ceritanya. Pengen denger suaranya. Pengen memperhatikan ekspresinya. Ini, sudah jawabannya pendek ditanya lanjutannya malah katanya ga ada terusannya.
"Oh. Maksudmu Adis ngomong apa saja sama aku?" tanyanya tiba-tiba.
Nah, ini aku suka. Bibirku langsung melebar. Kepalaku mengangguk.
"Katanya, kamu anaknya asyik."
"Oh ya?" Entah kenapa aku jadi berbunga-bunga. Farhana menganggukkan kepala.
"Katanya, kamu juga manis."
"Hah?!"
Sekali lagi ia mengangguk. Serius.
"Kalau kata kamu?" tanyaku. Serius juga meski mimikku menggodanya.
Dia melengos dan meneruskan langkahnya.
"Na...!" aku berteriak mengejarnya. Sebagian teman di koridor memperhatikan kami. Aku tidak peduli.
"Na!" Sekali lagi aku berteriak dan dia tidak menghentikan langkahnya. Akhirnya aku menangkap lengannya.
"Apaan sih, Dra? Lepas ga?"
"Ga!"
"Lepas, Dra!"
"Ga. Lagian aku ga nyentuh kulit kamu."
"Iya, tapi..."
"Aku nanyanya belum selesai."
"Iya, iya. Tapi lepasin dulu lenganku," katanya memohon. Akhirnya, lengan yang membuat dadaku berdebar kencang itu aku lepaskan.
"Jangan nanya yang aneh-aneh!" katanya sambil memijat-mijat lengan yang tadi aku pegang.
Sebenarnya ingin betul aku tanyakan pertanyaan yang tadi tapi khawatir Farhana marah lagi.
"Terus, dia bilang apa lagi?"
"Katanya, kali enak kalo jadi pacar kamu," katanya memelan dan menunduk.
Jelas aku kaget. Aku sama sekali tidak berharap kalimat infromasi itu. Aku menghela nafas.
"Dan aku menyemangatinya," lanjutnya. Suaranya semakin kecil.
"Apa?!" teriakku.
Aku tidak peduli puluhan pasang mata yang tertuju padaku saat ini. Tapi sepasang mata di depanku ini justru berbinar. Bibirnya mengembang. Dia mengangkat kepalanya melihatku.
"Ingat ya, Na. Kalo setelah aku ajari dan ada ulanganmu yang dapat 100, kamu yang jadi pacarku!"
"Apa?!"
Aku berlalu. Aku tidak peduli dengan teriakannya.
"Indra!"
Aku biarkan dia. Biar dia tahu aku serius. Serius mencintainya.
YOU ARE READING
Indraka dan Farhana
Teen FictionBuat Indraka, Kamu kapan tobat? Farhana Buat Farhana, Kamu kapan ngeliat aku? Indraka