"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Lho, kak Nana. Cari siapa kak?" tanya Sari.
Aku tersenyum menelan ludah.
"Eh, Indraka nya ada?" tanyaku malu-malu.
"Oh, ada," sahut Sari dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Silakan duduk dulu," tambahnya.
Aku mengangguk dan duduk di kursi, di teras rumah Indraka.
Sore ini aku memberanikan diri datang ke rumah Indraka. Aku ingin menemuinya, berbicara dengannya. Aku ingin meluruskan semua perjanjian. Aku tidak mungkin membicarakannya di sekolah. Yang ada malah ada rumor-rumor berseliweran ga jelas.
"Nana?"
Tiba-tiba Indraka sudah ada di depanku. Aku mendongak, melihat wajah kagetnya.
"Tumben kesini?"
Pertanyaan yang menohok buatku.
"Ga boleh ya?" tanyaku balik.
"Oh, boleh. Boleh banget," jawabnya sambil duduk di kursi sebelah meja, yang memisahkan kursiku dan kursinya.
Aku menghela nafas. Bingung memulainya dari mana, aku menunduk.
"Jadi, cuma ingin duduk berdua sama aku?" tanyanya tersenyum.
Aku langsung menoleh.
"Bukan, bukan..."
"Jadi?"
"Dra, kamu ga serius kan?"
"Tentang?"
"Dra, kamu sudah banyak mengatur hidupku. Kamu dapat nilai 100, aku harus belajar sama kamu. Kamu yang menggantikan uang gitar, aku yang harus datang ke kafe waffle. Tapi kalo aku yang dapet 100, aku harus jadi pacar kamu. Apa-apaan ini?"
"Baru 3 syarat saja kamu sudah bingung. Kalau aku mau jadi suami kamu kayaknya syaratnya lebih banyak deh. Tes ngaji, tes sholat, lolos pengetahuan agama..."
"Indra, aku serius."
"Kamu pikir aku ga?"
"Dra, aku ngomong kita sekarang."
"Sama, aku ngomongin kita sekarang untuk masa depan."
"Indra!"
"Nana!"
"Dra, Adis beneran suka sama kamu. Masa kamu ga mikir perasaannya?"
"Na, aku beneran suka sama kamu. Masa kamu ga mikir perasaanku?"
Aku langsung berdiri. Badanku sudah panas dingin. Aku sudah tidak tahan. Bagi Indraka mungkin ini lucu. Bagiku tidak. Aku ga mungkin suka sama dia. Dia bukan tipe laki-laki yang ingin aku dampingi. Tapi dia adalah orang pertama yang menyatakan suka padaku. Yang lain, mana ada yang berani. Anak-anak mushola begitu melihat abi, langsung mengkeret. Indraka tidak. Dia benar-benar punya selera pemberani.
"Aku pulang," kataku tegas.
"Boleh. Dan itu tidak mengubah perasaanku."
"Aku ga mau ke kafe waffle. Kapanpun."
"Baik, nanti aku bilang pak Rusdi."
"Dra, aku ganti gitarnya. Tapi aku nyicil."
"Tapi aku belinya cash."
Entah kenapa, mataku memanas. Buliran air jatuh tidak bisa aku tahan. Aku bergegas pergi. Jangan sampai dia tahu aku menangis.
YOU ARE READING
Indraka dan Farhana
Teen FictionBuat Indraka, Kamu kapan tobat? Farhana Buat Farhana, Kamu kapan ngeliat aku? Indraka