Selamat pagi Indonesia....
Selamat menghirup udara pertama tahun 2018
Melihat keringatnya yang bercucuran, aku tidak sampai hati mengajaknya ke tukang tambal ban. Meski aku agak ragu pada Farhan dan Johan, tapi aku percaya sama Mas Reki. Makanya aku titipkan dia pada Mas Reki. Aku yakin juga dia sudah kelaparan dan tidak ada uang. Bedanya, dia tidak mengeluh.
Aku ingat ketika dulu kami SD, di acara Maulid Nabi di musholla. Kebiasaan perayaan Mauludan di kampung kami adalah perayaan yang menyenangkan bagi anak-anak. Bukan hanya ceramah agama dan sholawatan, tapi kami juga menunggu-nunggu rebutan bingkisan yang digantung di langit-langit musholla.
Sebenarnya, bingkisannya tidak seberapa. Hanya berisi permen atau buah, kadang makanan kecil atau bahkan balon. Tapi sensasi setelah berhasil mendapatkannya itu yang luar biasa. Bahkan kadang ada ibu-ibu yang juga berebut, mengambilkan bingkisan untuk anaknya.
Saat itu, aku melihat Farhana terjepit diantara teman-teman yang sedang berebut. Tubuhnya yang kecil tidak mampu memberontak. Dia diam saja saat tangannya tak bisa menggapai. Sementara aku, dalam sekejap sudah bisa mendapatkan apel, coklat dan balon.
Setelah acara, dia pulang bersama teman-temannya. Aku ada di belakangnya. Ketika semua teman menunjukkan hasil rebutannya, dia diam saja. Aku jadi tidak tega. Aku menghampirinya.
"Kamu sama sekali ga dapat apa-apa?" tanyaku.
Dia menggeleng sedih tapi tetap tersenyum.
"Aku dapat 3. Kamu suka yang mana?" tawarku.
Dia tetap menggeleng.
Akhirnya kuberikan coklat yang aku pegang.
"Buat kamu."
Wajahnya menengadah.
"Ayo ambil."
Dia menerima coklat pemberianku dan tersenyum.
"Terima kasih, Ndra."
YOU ARE READING
Indraka dan Farhana
Ficção AdolescenteBuat Indraka, Kamu kapan tobat? Farhana Buat Farhana, Kamu kapan ngeliat aku? Indraka