Farhana

664 30 2
                                    


Aku bingung kenapa Indraka dan Wicak menoleh padaku. Tetapi ketika Wicak tersenyum padaku, aku mulai curiga. Si Indra ga bisa dipercaya. Antara marah dan malu menjadi satu. Apalagi ketika Wicak mulai berjalan ke arahku. Dan sekarang dia ada di samping bangkuku.

"Na, ntar istirahat makan siang sama aku ya?"

Dahiku langsung berkerut. Alisku bertaut.

"Kamu ultah?" tanyaku mencari kepastian.

"Iya. Mau minta traktir kamu," jawabnya tetap tersenyum. Sekilas aku melihat Indraka. Anak itu sedang tegang. Baru kali ini aku melihatnya tegang.

"Kenapa harus aku?"

"Soalnya cuma kamu yang belum pernah mentraktir aku."

"Aku ga bawa uang," jawabku.

"Tenang, kamu bisa pinjam Indraka."

"Kalo gitu kamu minta traktirnya ke Indraka aja."

"Maunya juga gitu. Tapi Indrek mau mentraktir aku kalo kamu mau makan bareng juga."

Jeda sejenak. Kembali aku melihat ke arah Indraka. Ekspresinya tidak berubah. Aku jadi bingung kembali, benarkah ajakan Wicak?

"Gimana? Mau?"

Aku bingung mau menjawab hingga akhirnya Dianti yang menjawab,"Itu anak masih belum kapok ngejar-ngejar Farhana? Emangnya Nana mau sama cowok tengil macam dia?"

Mungkin warna wajahku seperti pelangi. Bagaimana kalau Dianti tahu bahwa aku dan Indra memang jadian? Bagaimana perasaannya jika tahu aku menerima hati cowok tengil versi dia itu?

"Ga usah gitu. Meski menurut kamu tengil, Indrek ga pernah merendahkan perempuan. Ga pernah menduakan apalagi mentigakan. Ga kayak kakak kamu."

"Heh! Maksud kamu apa?"

"Udah, ga usah dibahas. Ngomongin kakak kamu bikin panas hati tahu!"

Dianti melotot.

"Lagian kalo Indrek jadian sama Nana kan lumayan, Nana bisa berdakwah mengurangi ketengilan Indrek."

Hatiku mulai kebat-kebit.

"Dan kamu mak comblangnya ya?"

"Dengan senang hati dong!"

"Dibayar berapa sama Indrek?"

"Idih! Sahabat itu akan melakukan hal baik buat sahabatnya seikhlas hati. Memangnya kamu, ngedeketin Farhana demi kakakmu itu?"

Aku semakin bingung. Apa iya begitu ceritanya? Memang aku tidak yakin. Yang yakin adalah Wicak dan Dianti semakin panas.

"Sudah..sudah! Jangan berantem dalam kelas," kataku.

"Iya. Siapa juga yang mau berantem sama Dianti. Capek. Tapi kamunya mau kan makan siang sama kami?"

"Iya. Udah bubar. Ntar istirahat ketemuan di kantin."

"Sip!"

Dua jempol Wicak diperlihatkan padaku sebelum dia menjauh. Sementara Dianti menoleh ke tempat lain, bukan ke arahku.

Indraka dan FarhanaWhere stories live. Discover now