Indraka

209 23 3
                                    

Cerah cerah begini jadi ingin bernostalgia. Ketemu PADI, hehehe...

Happy reading ya guys. Terima kasih untuk waktu luang,  vote dan komennya.


Mungkin aku modus menyuruhnya mengalungkan syal ke leherku, tapi jangan dikira rasa terdalamku tenang-tenang saja. Dikalungin Farhana, man. Kali ini kalo sampai ada yang tahu, bisa heboh satu sekolah. Dan aku mengambil resiko itu. Herannya, Nana juga mengikuti perintahku. Anak itu...naif naif menggemaskan....

*******

"Udah tadi nunggunya?"

Yang ditanya menggeleng.

"Sepuluh menitan," jawabnya.

"Bosen nunggu dong."

"Ga juga. Aku bisa sambil baca-baca."

Aku menghela nafas. Anak ini...benar-benar pecinta buku. Ga salah jika aku memilih perpus kota untuk belajar bareng Nana.

"Kita mulai dari yang mana nih?" tanyaku.

"Bahasa Inggris dulu," tukasnya.

"Kok bahasa Inggris dulu. Bukannya Senin kita ulangan harian fisika?"

"Makanya, fisika terakhir aja. Ntar aku bisa ulang di rumah masih segar dalam ingatan," jawabnya lempeng.

Aku tersenyum dengan jawabannya. Benar-benar save the best for the last.

"Oke deh. Semoga dengan belajar bareng kita sama-sama dapet nilai 100 ya."

"Jangan...ga mau."

"Loh, kok?"

"99 saja cukup kok."

"Nanggung amat."

"Biarin, yang penting ga 100."

"Emang kalo 100 kenapa?"

Dia menggeleng.

"Iya, kenapa?"

"Aku belum mau pacaran, Dra."

"Maksudmu."

"Kan kamu bilang kalo setelah belajar sama kamu nilaiku 100, aku harus jadi pacar kamu. Aku tambah dibenci Adis," jawabnya menunduk.

Tuhan.... aku baru ingat. Sadis bener aku mengancamnya. Baiklah, aku ganti taktik...

"Kalo Adis ga benci kamu, kamu mau jadi pacarku?" tanyaku sambil tersenyum nakal.

"Indra..."

"Iya...iya...maaf. Tapi meski nilaimu ga 100, boleh kok jadi pacarku."

"Draaa...."

Suaranya mengeras, refleks aku menutup mulutnya dengan tangan kananku. Mbak perpus yang sedang menata buku kembalian sedang melotot ke arah kami. Si Nana diam tak berkutik. Bukan karena merasa bersalah seperti aku, tapi karena tanganku menyentuh wajahnya.

"Jangan teriak, ini perpus," bisikku.

Perlahan aku lepaskan bekapanku. Dia membekap mulutnya sendiri setelah itu.

"Kamu sih..." jawabnya pelan.

"Ya sudah, kita fokus belajar dulu," kataku. Ingin ku pancing lagi tapi khawatir dia histeris kembali. Biarlah lain waktu. Aku juga tidak tega melihatnya serius membuka buku untuk aku.

Indraka dan FarhanaWhere stories live. Discover now