Farhana

219 25 2
                                        


Sampai bel pulang dia tidak menghampiriku. Padahal aku sedang menunggunya meminta syalnya kembali. Aku jadi ragu, sebenarnya dia benar-benar menitipkannya atau ga suka ya? Aku juga jadi bimbang, haruskah aku yang mendekatinya? Apakah tidak akan apa-apa?

Dan ternyata, dia bukan cuma tidak menghampiriku, menolehpun tidak. Diantara keraguan, aku berlari mengejarnya. Paling tidak, aku tahu kalau dia tidak suka syal buatan ku ini. Dan aku baru berhasil mengejarnya ketika sudah sampai di parkiran. Dia berjalan pelan. Memang parkiran masih penuh dengan siswa yang mau pulang. Mereka berebut mengeluarkan motor. Indraka berdiri dipinggirnya. Dengan kondisinya, memang tidak mungkin dia ikutan berebut. Tangan kirinya memegang gitar.

Aku juga ikutan menunggu. Aku tidak memaksa untuk mengembalikan syal itu langsung. Alasanku karena aku butuh kepastian apakah dia masih ingin memilikinya. Ketika sepi lah aku baru mendekatinya.

"Dra...," sapaku pelan.

"Eh, Na. Ngapain disini? Bawa motor hari ini?"

Deg! Aku harus bagaimana? Dia bahkan tidak ingat benda yang ia titipkan. Lanjutkah misi ini?

"Na?" katanya, menyadarkanku.

"Oh, enggak. Hari ini aku ga bawa motor. Cuma..."

Kalimatku menggantung. Aku tidak percaya diri. Tuhan...bagaimana ini? Aku berseru sambil memejamkan mata.

"Cuma apa Na?"

Sekali lagi dia menyadarkanku.

"Syalnya... mau kamu ambil tidak?" ujarku tak yakin. Seakan mengambangkan intonasi di akhir kalimat.

"oh iya...hampir aku lupa. Mana?" tanyanya tersenyum.

Ya Allah...lega rasanya mendengar dia masih mau menerima syal buatanku. Aku langsung membuka tas dan mencari syalnya. Setelahnya, aku menyerahkan benda itu padanya. Ternyata dia tidak langsung menerimanya. Dia malah melihat ke langit. Tanganku yang sedang memegang syal tergantung di udara.

"Mendung ya, Na. Kayaknya mau hujan," katanya, tetap memandang langit. Aku jadi ikut-ikutan melihat langit. Memang awan gelap perlahan menebal. Pantas teman-teman tadi berebut mengeluarkan motor. Mereka sepertinya khawatir kehujanan di jalan.

"Iya, kayaknya mau hujan," jawabku memastikan. Entahlah, tapi sepertinya kami menghentikan tatapan ke langit bersamaan. Setelahnya, saling pandang sebentar.

Aku langsung menyerahkan syal itu.

"Kalau gitu aku mau cepat-cepat pulang, Dra. Takut kehujanan."

"Eits....bentar!"

Kembali tanganku menggantung di udara. Dia belum menyentuh syalnya.

"Bantuin aku ya."

"Bantuin apa?"

"Lilitkan syal nya ke leherku," pintanya yakin.

Aku terkejut? Jelas lah. Memasangkan syal itu ke lehernya? Dia sehat kan?

"Tolong Na. Kamu ga lihat tanganku bagaimana?"

Entah ini alibi atau apa, tapi memang tangan kanannya memegang tas sekolah dan tangan kirinya memegang gitar.

"Gitarnya kan bisa kamu sandarkan dulu, Dra," kataku dengan suara serak, mencoba mencari solusi.

"Disandarkan? Terus kalau jatuh dan retak lagi gimana?"

Duh, kenapa aku ketemu sama anak pinter nyari alasan begini?

"Kalau aku yang pegang gitarnya, gimana?"

Jangan coba mengakaliku. Aku lebih bisa mencari alasan.

"Ga boleh. Ntar jatuh. Kalo jatuh kamu bingung nyari ganti. Terus aku yang ganti. Kamunya harus nambah jadwal nonton aku perform. Mau?"

Jiah..ini anak!

"Pasangkan syal apa susahnya sih?"

Dengan berat hati akhirnya kau mendekatinya. Berat hati? Ga juga sih. Gemetar iya. Tapi ada sebersit rasa senang. Apa aku mulai senang melakukan dosa? Dan apakah ini dosa?

Aku menghela nafas dan membeberkan syal sesuai panjangnya. Setelahnya Indraka menunduk menungguku mengalungkan benda itu ke lehernya. Dan aku melakukannya. Ku lakukan dengan hati-hati agar tidak menyentuhnya. Selesai. Tapi getarannya belum selesai.

Kulihat laki-laki di depanku tersenyum dalam kebahagiaan dan kemenangan.

"Makasih ya Na."

Aku mengangguk, dan berlari pergi. Sepertinya, hujan akan datang menjemput.

Indraka dan FarhanaWhere stories live. Discover now