Prologue 1.1

20.9K 959 10
                                    

Happy reading😶😶
____________________

15 tahun yang lalu.

Amerika Serikat, Chicago.

09:30 AM

Semilir angin berhembus cepat dengan cuaca yang mulai mendung. Petir terdengar bersahut-sahutan di luar sana, sementara ringisan dari bocah lelaki itu semakin terdengar keras.

Air mata bocah itu mengalir dengan derasnya, diiringi dengan air hujan yang mulai membasahi kota yang ditempatinya.

"Hentikan," isaknya dan semakin melengkungkan tubuhnya hingga terlihat menyedihkan, berusaha menghindari tendangan-tendangan dari anak-anak nakal yang selalu membullynya setiap saat.

Terkadang, ia ingin sekali meninggalkan dunianya yang sangat tidak adil ini. Tubuh gemuknya yang selalu menjadi hujatan orang-orang, lalu wajahnya yang selalu terlihat buruk karena selalu dikotori oleh pembullynya.

Ia hanya ingin hidup normal layaknya anak-anak yang lain, bukan menjadi seorang bocah yang menyedihkan.

Ia benci dengan tawa anak-anak lain yang selalu meremehkannya, ia benci pada anak-anak yang selalu membullynya. Ia benci semuanya.

Bocah berusia 10 tahun itu tiba-tiba kembali berteriak kencang hingga suaranya terasa membelah suasana mendung itu. Tangisannya semakin terdengar karena anak-anak yang lebih tua darinya itu menginjak-injak tangannya dan perutnya tanpa belas kasihan.

Bisikan-bisikan yang selalu membuat telinga Erwin panas itu kembali terdengar, diiringi dengan suara tawa yang menggelegar.

Ia terisak pada tempatnya dan memejamkan matanya, berharap semua itu akan berhenti dengan cepat dan dirinya segera ditolong oleh seseorang.

Erwin sudah sangat tidak berdaya sekarang, apalagi beberapa bocah yang membullynya itu mulai meninggalkannya sendirian sembari mengejek ke arahnya.

Ia terbatuk-batuk, lalu menghapus air matanya dan perlahan bangkit dari tempatnya. Namun, Erwin kembali terjatuh ke tanah karena rasa sakit yang menyerang dirinya.

"Kamu kenapa?" tanya seseorang yang membuat Erwin mau tidak mau melihat ke asal suara itu. Ia menatap wajah orang itu dengan takut-takut dan masih berlinangan air mata.

Tapi di detik selanjutnya, bocah itu langsung tertegun di tempat, melihat seorang bocah perempuan yang mungkin lebih kecil darinya itu sedang menatap wajahnya dengan dekat.

Tanpa sadar, Erwin menahan napas saat anak kecil yang bahkan belum ia ketahui namanya itu membersihkan daun-daun yang tertempel di wajahnya.

Mata bulat cantik itu tampak mengerjap lucu, lalu tersenyum ketika wajah Erwin sudah dibersihkannya. Atau lebih tepatnya, ia hanya mengambil beberapa helai daun itu dan menyisahkan beberapa tanah kotor. Tapi tetap saja, itu sudah termasuk lumayan bersih menurut versi Eline.

"Selesai," ucapnya dan tersenyum senang.

Erwin menegang di tempat. "Terima kasih."

Tiba-tiba, perempuan itu mengulurkan tangannya ke arah Erwin, membuat bocah itu langsung mengerutkan dahinya. "Aku Eline. Kalau namamu, Kak?"

Perempuan yang telah diketahui bernama Eline itu kembali mengerjap lucu dengan pipinya yang sedikit menggembung, seakan-akan sedang menunggu jawaban yang akan dilontarkan oleh Erwin.

"Umm... Erwin."

Eline sedikit memiringkan kepalanya, lalu menatap Erwin dari atas kepala hingga ke ujung kaki. "Kamu kenapa? Main tanah? Mommyku bilang, tanah itu kotor."

Tiba-tiba, guntur kembali menyambar di atas sana, membuat Eline sontak berteriak takut. Tanpa sadar, ia langsung memeluk Erwin dan menyembunyikan wajahnya di balik tubuh gemuk itu.

Hujan mulai mengguyur kota dengan deras, disertai dengan petir dan guntur yang kembali bersahut-sahutan.

Selama beberapa detik, Erwin tidak mengerjapkan matanya, terlalu syok dengan semua ini.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Erwin dan berusaha menjauhkan perempuan itu dari tubuhnya.

Tentu saja ia malu.

"Ah, maaf-maaf." Suara merdu itu kembali menyapa telinga Erwin. Perempuan itu tampak langsung menjauhkan badannya dengan malu dan menatap Erwin dengan mata bulatnya.

Air hujan yang berjatuhan membuat mereka berdua terlarut dalam kebasahan. Rambut perempuan itu menjadi basah, disertai dengan pakaian tipis yang dipakai olehnya.

Tapi di detik selanjutnya, Erwin sontak membulatkan matanya ketika melihat pakaian tembus pandang yang dipakai oleh Eline tampak menampilkan pakaian dalamnya.

Pipi bocah itu memerah, membuat Eline menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya.

Sial, kenapa perempuan itu belum menyadarinya juga?

"Sebaiknya kamu segera pulang karena jika tidak, kamu bisa terkena flu di sini," ucap Erwin dan tanpa sadar melemparkan pandangan matanya ke arah lain.

Pipinya semakin merah merona, yang mana membuat Eline langsung terkikik kecil dan mengajaknya untuk berdiri. Ia menghiraukan perintah Erwin yang menyuruhnya untuk pulang.

"Ayo, dimana rumah kakak? Aku akan mengantar Erwin ke sana!" serunya dan menarik lengan Erwin dengan sedikit memaksa.

Dengan terpaksa, bocah itu menahan seluruh rasa sakit yang menyerangnya demi memenuhi permintaan Eline. Berkat bantuan perempuan tersebut, ia akhirnya dapat berdiri tegak walau masih mengalami kesusahan.

Ia kemudian tersenyum senang, lalu menatap ke arah Eline yang juga ikut tersenyum kepadanya juga.

Perempuan itu manis.

Untuk yang pertama kalinya, ada seseorang yang peduli padanya selain orang tuanya sendiri. Untuk yang pertama kalinya, ia merasakan kebahagiaan yang menyusup ke dirinya. Dan untuk yang pertama kalinya juga, ia ingin berteriak sekeras-kerasnya, melepaskan semua rasa sedih yang selama ini melandanya.

To be continue...

DON'T FORGET TO VOTE AND COMMENT. THANKS...

25 February 2019

The Perfect EVIL BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang