Happy reading😉😉
___________________Setengah jam kemudian...
Erwin masih saja melangkah bolak-balik di depan kamar operasi. Waktu yang terus berdetak itu semakin membuat Erwin merasa cemas. Matanya melirik ke arah jam tangannya, lalu kembali menghela napas lelah untuk yang kesekian kalinya.
Pria itu seakan-akan tidak mengenal rasa capek yang terus menyerangnya. Kedua kakinya yang tidak beristirahat itu seolah-olah masih mampu untuk menopang badannya.
Terkadang, ia dapat melihat ada beberapa pasien yang berlalu lalang di depan sana. Mereka memakai pakaian putih khas rumah sakit.
Matanya menatap lurus ke arah depan, sebelum tiba-tiba saja ia menyadari ada sosok berpakaian hitam yang tampaknya sedang berjalan terburu-buru.
Erwin memicingkan mata, sementara kakinya berhenti melangkah. Pria yang berpakaian hitam tersebut sepertinya sedang berjalan ke arahnya. Ralat, pria itu sedikit berlari.
Beberapa meter sebelum pria itu sampai di tempat Erwin, dirinya terlebih dahulu sudah menyadari jika pria tersebut adalah Jason. Pria itu tampak emosi jika dilihat dari kepalan tangannya dan matanya yang berkobar-kobar.
"Dasar bajingan ini!"
Umpatan itu terdengar, membuat Erwin terkesiap di tempatnya. Jason terlihat semakin mempercepat langkahnya ketika nyaris sampai di tempat Erwin.
Dan, benar saja apa yang Erwin pikirkan. Jason langsung melayangkan sebuah bogeman ke arah wajahnya. Namun, belum sempat hal tersebut terjadi, Erwin terlebih dahulu menghindarinya.
"Woah, santai brother," celutuk Erwin dan menghindari bogeman yang hendak dilayangkan oleh Jason lagi.
Jason menatap Erwin dengan tatapan marah, sebelum tiba-tiba saja pria itu bergerak mencengkram kaos Erwin.
"Kau menyuruhku untuk santai, hah! Apa kau tidak punya otak, dasar bedebah!" umpat Jason dengan kasar, mengundang beberapa kepala di sekitarnya untuk melirik ke arahnya.
Erwin menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu. Ia tidak tahu bagaimana caranya menanggapi Jason yang sudah emosi seperti ini.
"Sebentar dulu, Ja--"
Belum sempat Erwin menyelesaikan kalimatnya, Jason langsung saja memotong. "DASAR BAJINGAN! KAU KIRA MUDAH SEKALI UNTUK MENCARI LOKASIMU DENGAN MENGGUNAKAN PONSEL, HAH!"
Erwin mengerutkan kedua telinganya. Bentakan dari Jason terdengar sangat mengerikan, membuat suara-suara yang berada di sekitar mereka yang tadinya masih terdengar menjadi senyap.
Oh, bahkan sekarang Erwin mulai takut jika Jason-lah yang akan dikeluarkan dari rumah sakit ini karena telah membuat keributan.
"Ya, siapa suruh kau menggunakan ponsel," balas Erwin dan melepaskan cekalan Jason dengan susah payah. Dan, berhasil.
"BAJINGAN!" umpat Jason kembali dan hendak menyerang Erwin yang tampaknya ingin kabur.
Melihat Jason sudah mendeteksi pergerakannya, Erwin langsung saja menjambak rambut pria tersebut.
"BANGSAT! LEPASKAN RAMBUTKU DARI TANGAN KOTORMU ITU!"
Erwin merasakan sudut bibirnya berkedut samar. Ingin rasanya ia menonjok mulut Jason agar pria tersebut bisa menutup umpatannya itu.
Tangan Erwin kemudian bergerak ke bawah dengan paksa, membuat kepala Jason ikut tunduk ke bawah.
"BANG--"
"DIAM!" Erwin membentak Jason yang hendak mengumpatinya lagi. Dan, berhasil. Pria tersebut seketika terdiam di tempat. "Ini di rumah sakit, bodoh! Kau tidak ingin diusir oleh satpam, bukan?"
Jason hanya bergeming di tempatnya ketika mendengar ucapan Erwin. Ia kemudian menghela napas, berusaha menetralkan emosinya yang sudah sempat memuncak itu.
Setelah merasa Jason tidak berbuat macam-macam lagi, Erwin melepaskan tangannya dari rambut Jason. Ia kemudian berpaling, menoleh ke arah kiri dan kanan, sebelum tersenyum kikuk ke arah manusia-manusia yang sedang memandangi keributan mereka.
"Bisakah kau pelankan sedikit suaramu itu?" tanya Erwin setelah melihat keadaan disekitarnya mulai berjalan dengan normal lagi. Ia bertanya dengan suara yang lebih kecil.
"Bedebah," umpat Jason kembali, namun dengan suara yang lebih kecil dari yang sebelumnya. "Dimana otakmu itu, hah!"
"Otakku?" Erwin bertanya dan menoleh ke arah Jason, sebelum tangannya bergerak untuk menunjuk kepala besarnya itu. "Di sini."
"Terus kenapa kau tidak memakainya, hah! Aku tadi meneleponmu dan menyuruhmu datang ke apartemen Ashley guna untuk menolongku, bukan malah menculik perempuan tersebut dariku."
"Aku tidak menculiknya," sergah Erwin dengan cepat. Matanya kian menyipit, menghunus Jason dengan tatapan yang menuduh. "Aku cuma menjauhinya darimu. Kau kira aku bakal membiarkan Ashley untuk dekat-dekat denganmu? Kau yang mencelakainya, kan."
Jason terbelalak mendengar pernyataan yang dibuat oleh Erwin itu. Ini pria, bodoh atau apa sih? Jason menjadi merasa sedikit prihatin terhadap Ashley karena telah mendapatkan pacar yang tidak berguna seperti ini.
"Terus untuk apa aku meneleponmu kalau akulah yang mencelakai Ashley?" balas Jason dengan tatapan tak senang. "Memang otakmu itu dungu sekali."
"Hei, aku cuma berjaga-jaga," protes Erwin, membela dirinya sendiri.
"Dan, juga. Kenapa kau tadi malah meninggalkanku di dalam apartemen sendirian dan malah menyuruhku untuk mencari lokasimu itu? Cari mati, hah!" sungut Jason dengan serius.
Erwin mendengus sesaat. "Siapa suruh kau mencelakai Ashley dan membentakku di dalam telepon."
"Aku tidak mencelakainya, astaga!" tukas Jason dengan cepat. Entah kenapa, ia ingin sekali mencabut semua helai rambut Erwin dan membuat pria yang dulunya berstatus sebagai adik kelasnya itu menjadi botak.
"Jadi, siapa yang mencelakainya lagi kalau bukan kau?" tanya Erwin dan mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi.
Jason tampak berpikir sejenak. "Aku tidak tahu. Namun yang pasti, aku tidak akan membiarkan pelaku itu melarikan diri seenak jidatnya."
Tanda tanya yang cukup besar tercipta di kepala Erwin begitu ia mendengar perkataan Jason. "Pelaku?" ulangnya, berniat untuk memastikan ucapan Jason.
"Iya. Pelaku tadi menembak kita dari gedung depan," ujar Jason, sebelum sedikit meringis ketika kejadian tadi kembali berputar di otaknya. Namun, berbeda dengan Erwin. Pria tersebut membentuk mulutnya menjadi O.
"Apa kau sedang berhalusinasi?" tanya Erwin, merasa sedikit aneh.
Wajah Jason seketika berubah menjadi keruh. "Terserah," tandasnya dengan tidak niat.
Jason lalu memutar kedua bola matanya. Ia tidak ingin berdebat dengan Erwin lagi.
Mata Jason kemudian beralih ke arah pintu operasi yang berada di depannya, sebelum kembali menatap ke arah Erwin yang tampak mulai berjalan bolak-balik layaknya orang bodoh.
"Tunanganku sedang dioperasi? Bagaimana keadaan dia?" tanya Jason kepada Erwin, membuat tatapan Erwin jatuh pada diri Jason sepenuhnya.
"Jangan berbohong lagi padaku, Jason," desah Erwin dengan tatapan yang menghunus. "Aku sudah tahu jika dia itu adalah adikmu."
Jason spontan terkesiap. Ia menatap Erwin dengan heran. "Darimana kau tahu?"
"Ada deh." Erwin bersiul kecil dengan penuh kemenangan.
Jason hanya mengerutkan dahinya, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengedikkan bahunya tidak peduli.
Toh, identitas dirinya ini bukanlah masalah yang cukup besar. Karena sebenarnya, ada satu identitas lagi yang terkesan lebih rumit dari yang ini.
To be continue...
Don't forget to vote and comment yaa💗💗
7 May 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect EVIL Boy
Romance15 tahun yang lalu. Eline Hill atau dipanggil 'flower' oleh teman kecilnya, adalah seorang anak perempuan yang baik dan ceria. Selain cantik, Ia juga sangat disukai oleh banyak orang. Erwin Collins, adalah teman dari perempuan itu yang sekaligus men...