Happy reading👱♀️👱♀️
_____________________Ashley mengerjap, lalu mendesah pelan. "Jadi aku harus bagaimana sekarang?"
John yang duduk di hadapannya itu kembali meneliti jas hitam yang sedang dipegangnya, kemudian memperhatikan merek yang berada di belakangnya.
"Aku tidak pernah membayangkan bahwa aku bisa memegangi jas Dormeuil Vanquish II ini. Kau tahu, jas ini terkenal sangat mahal dan yang pastinya, uang di kantongku tidak akan cukup untuk membelinya. Bahkan aku tidak pernah sekalipun melihat jas ini, kecuali hari ini tentunya."
Ashley menghela napas perlahan, lalu memijit pelipisnya. "Jadi aku harus bagaimana? Di mana aku bisa membeli jas ini? Damn it, John!"
"Nah, itu bukan urusanku. Lagipula, kenapa kau bisa ceroboh sekali hingga menumpahkan kopi pada jas milik seorang pengusaha?"
"Kau pikir aku sengaja melakukannya?" tanya Ashley kesal.
John terkekeh pelan. "Sebentar, aku akan mencari tahu dari mana asalnya dan harganya terlebih dahulu."
"Okay," sahut Ashley, kemudian menatap ke sekeliling kafenya.
Ya, kafe ini adalah kafe yang ia dirikan sendiri tanpa bantuan orang tuanya. Tentu saja ia harus berbangga sedikit, mengingat kafenya sungguh terkenal di kota Washington.
Well, ia hidup sendiri di kota ini saat umurnya beranjak 20 tahun, jauh dari orang tuanya yang menetap di Chicago. Ashley juga tinggal di apartemen yang nyaman dan tidak jauh dari kafe miliknya.
Oh, serta jangan tanyakan kenapa gadis itu memilih untuk menjadi seorang pelayan di kafenya sendiri dibandingkan untuk duduk di atas kursi. Alasan yang logis, karena ia ingin menikmati bagaimana ramainya suasana kafe ini.
Sebenarnya, kedua orang tuanya yang berada di kota lain itu sangat mencemaskan dirinya dan akan selalu mengirimkan uang ke rekeningnya setiap bulan. Namun, ia tidak memakai sepersen pun uang itu dan selalu menyimpannya. Ashley hanya ingin berusaha sendiri tanpa bantuan dari orang lain.
"Wow, harga yang sungguh amazing," ucap John tiba-tiba.
Ashley sontak menghentikan kegiatannya yang menatap ke sekeliling, lalu beralih ke arah lelaki di depannya. "Berapa?"
"US$ 95.319."
Ashley membulatkan matanya kebar. "WHAT?" pekiknya terkejut.
"Dan sekarang masalahmu adalah, dari mana kau bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Atau, apa kau akan menggunakan uang orang tuamu?"
John, seorang lelaki yang pertama kali Ashley temui saat menginjak kakinya di Washington. Laki-laki dengan rambut hitam dan berwajah tampan yang selalu menjadi pujaan hati para wanita. Tapi, tidak dengan Ashley. Ia hanya menganggap pria itu sebagai temannya, begitu pun dengan John.
"Aku tidak mungkin menggunakan uang yang dikirim oleh orang tuaku."
"Jadi, apa yang akan kau lakukan?"
Ashley menggigit bibir bawahnya. "Aku tidak tahu."
"Kau mau meminjam uangku? Akan kukatakan jika uangku mungkin hanya seperempat dari harga itu."
"Aku tidak mungkin menggunakan uangmu."
John mencebik sejenak. "Jadi, bagaimana?"
Ashley menghela napas dan memejamkan matanya frustasi. "Aku tidak tahu."
"Oh, ayolah. Kalau aku menjadi dirimu, aku pasti akan menggunakan uang orang tuaku. Ingat jika kafemu ini baru bisa menghasilkan uang dua bulan yang lalu. Kau tidak mungkin langsung mendapatkan banyak uang sekaligus, kecuali keajaiban turut menyertai," ujar John yang mulai cerewet kembali.
Ashley kemudian membuka matanya. "Iya, iya. Aku tahu."
John mengangkat kedua alisnya, lalu melirik ke arah arlojinya. "2 jam lagi untuk menuju jam 7 malam. Ayo, cepatlah berpikir, Ashley. Jangan sampai gay itu sudah kemari dan kau masih belum membeli jas mahalnya."
Samar-samar, Ashley menganggukan kepalanya, membetulkan perkataan pria itu.
Tadi, pria gay itu menolak kebaikannya yang ingin mengantarkan jas itu ke tempatnya. Katanya sih, pengusaha itu yang akan datang sendiri ke kafenya pada pukul 7 tepat untuk mengambil jas barunya.
"Iya, aku tahu. Kau seharusnya membantuku untuk memikirkan solusinya juga."
"I have no idea."
"So do I."
"Kalau begitu, gunakan saja uang orang tuamu. Lagipula, mereka yang mengirimkannya dan pekerjaanmu hanya perlu untuk menghabiskannya," ujar John yang mulai kesal juga dengan tingkah Ashley.
Gadis ini, sikapnya selalu saja begitu.
John sudah hapal dengan semua kelakuan Ashley. Dulu sekali, sewaktu mereka pertama kali bertemu, perempuan itu hanya berjalan di trotoar tanpa memiliki arah. Bahkan ia sempat berpikir jika gadis ini tidak memiliki uang sepersen pun di sakunya, mengingat betapa susahnya Ashley mengeluarkan uang hanya untuk membeli sebotol air minuman.
"John, kau malah membuatku semakin kesal. Kau tahu betul jika orang tuaku sudah membelikanku sebuah apartemen dan sekarang, aku bahkan belum bisa mengirim uang kepada mereka. Aku bukan anak manja sepertimu, stupid boy," ujar Ashley dan tertawa pada kalimat terakhirnya.
John memberengut kesal, lalu kembali bertanya. "Jadi, apa solusimu? Menolak untuk menggunakan uang orang tuamu yang hampir menggunung itu karena terus disimpan, lalu dengan percaya dirinya mengatakan bahwa kau bisa membeli jas itu. Hingga pada akhirnya, kau sama sekali tidak bisa membelinya Ashley."
"AKU TAHU, John!" pekik Ashley keras. Beruntungnya kafe ini telah ditutup, karena kalau tidak, Ashley yakin seratus persen jika kafenya pasti akan terjadi keributan akibat mendengar teriakan mengerikannya itu.
"Oh, kenapa kau tidak membawa jas ini ke laundry saja? Hilangkan saja bau kopi ini. Dan aku yakin seribu persen jika lelaki itu tidak akan mengetahui bahwa ini adalah jas yang sama."
Ashley yang tadinya hendak melempar sendok ke arah kepala pria itu tidak terjadi. Ia terlihat berpikir sejenak. "Benar, juga. Kalau begitu, tolong bawakan jas menjijikan itu yang katanya sangat mahal sekali ke laundry. Karena aku tidak memiliki banyak waktu hanya untuk meladeni sepotong kain tidak berguna itu."
"Kau pikir aku ini budakmu?" sinis John tiba-tiba, membuat Ashley sedikit terkekeh.
"Aku tidak bisa karena aku sudah memiliki janji. Urus saja urusanmu sendiri dan jangan membawa-bawa namaku ke dalam masalahmu," sahut pria itu kembali.
Wajah Ashley lantas berubah menjadi masam dan menatap ke arah wajah John dengan jengkel. Ia mengepalkan tangannya, seakan-akan sedang meremukkan wajah tampan itu hingga hancur.
To be continue...
Don't forget to vote and comment. THANKS.
19 May 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect EVIL Boy
Romance15 tahun yang lalu. Eline Hill atau dipanggil 'flower' oleh teman kecilnya, adalah seorang anak perempuan yang baik dan ceria. Selain cantik, Ia juga sangat disukai oleh banyak orang. Erwin Collins, adalah teman dari perempuan itu yang sekaligus men...