Happy reading🍹🍹
____________________Berfokuslah, Erwin.
Binar mata birunya terlihat sedang melamunkan sesuatu, sedangkan beberapa pria berjas hitam yang lain tengah duduk berkeliling di satu meja bundar dan terlihat sibuk membahas sesuatu.
Okay, ia benar-benar tidak bisa fokus dengan rapat hari ini.
"Jadi, apa pendapatmu, Tuan Collins?" tanya salah seorang pria, membuat seluruh kepala manusia yang berada sama ruangannya menoleh ke arahnya secara bersamaan.
"Kita bahas topik ini di hari lain saja," sahut Erwin spontan, membuat semua orang yang berada di dalam ruangan sedikit terkaget dengan ucapannya. Tentu saja mereka tidak menyangka jika jawaban yang akan didapat adalah membahas topiknya di lain waktu.
Sedangkan Robert yang sedang berdiri setia di samping Erwin sontak membelalakan matanya, terkaget dengan ucapan pria tersebut barusan. Ada apa dengan pria ini?
"Tunggu--"
Tanpa berbasa-basi lagi, Erwin segera beranjak dari tempat duduknya dan langsung pergi menuju ke pintu ruangan, meninggalkan beberapa orang yang terlihat hanya melongo karena sikapnya yang tidak bisa diprediksi itu, tak terkecuali dengan Robert juga.
Pria itu terlihat sedikit menggaruk kepalanya heran, sebelum menunduk hormat ke arah pengusaha yang lain dan mengikuti Erwin dari arah belakang. Langkah kakinya tergesa-gesa mengikuti Sang Bos yang tiba-tiba menjadi terlihat konyol untuk hari ini.
"Kau gila, Erwin!" pekik Robert begitu keluar dari ruangan.
"Yes, I am," sahut Erwin pendek, membuat Robert mengernyitkan dahinya dengan aneh.
Pria itu spontan berjalan cepat dan memutar tubuhnya, berdiri di depan Erwin untuk menghalangi langkahnya. "Kau tidak seperti Erwin yang biasanya," ujarnya dengan binar mata yang menunjukkan keheranan.
"Oh," jawab Erwin, lalu menggeser tubuh Robert dan kembali berjalan hingga menuju ke lift pribadinya.
"Kau sedang memikirkan sesuatu?" tanya Robert dan menyesuaikan langkah kakinya dengan langkah Erwin yang lumayan cepat. Mereka bersama-sama masuk ke dalam lift yang terbuka itu.
"Tidak," elak Erwin sembari menolehkan kepalanya ke arah Robert. Pria itu terlihat sedang membawa setumpuk dokumen yang akan ditandatangani olehnya nanti. Ia menghela napas sejenak.
Pekerjaan yang sungguh membosankan.
"Batalkan seluruh rapatku untuk hari ini. Aku hanya ingin beristirahat sejenak," ujarnya dan pada waktu yang bersamaan, pintu lift terbuka, membuat mereka berjalan keluar dan menuju ke ruangan kerjanya.
"APA? Erwin, kau kenapa hari ini? Terserang penyakit konyolkah? Seluruh rapat hari ini sangat penting, idiot," pekik Robert tertahan.
"Tidak. Sudah kukatakan bukan jika hari ini aku ingin beristirahat sejenak. Lagipula, sejak kapan sebuah rapat menjadi tidak penting bagiku," sahut Erwin dengan jengkel.
"Kau benar-benar bukan sosok Erwin yang biasanya kukenal. Aku tahu kau pasti sedang memikirkan sesuatu. Katakan padaku, sehingga aku yang akan memberikan solusinya padamu," saran Robert dengan cepat.
"Tidak perlu," balas Erwin saat mereka telah berdiri di depan ruangan kerjanya. Ia membuka pintu ruangan itu, lalu menutupnya dengan keras di depan wajah Robert.
"Kau sungguh tidak sopan," jerit Robert dan merutuk kesal di depan pintu berwarna coklat itu. Ia berusaha membuka pintu itu kembali, namun tidak bisa karena Erwin sudah menguncinya terlebih dahulu dari dalam ruangan.
"SETAN!" rutuk Robert tidak senang dan menendang benda mati itu beberapa kali.
"Diamlah! Sekarang kerjakan pekerjaanmu sebagai seorang sekretaris atau aku yang akan memecatmu hari ini juga!"
Suara interkom tiba-tiba berbunyi, membuat Robert menghentikan kegiatannya yang brutal, lalu meneguk ludahnya dengan susah payah.
Okay, ia masih tidak ingin kehilangan pekerjaan yang sangat dicintainya ini.
"Tidak, terima kasih," gumam Robert kesal. Ia membalikkan badannya, kemudian duduk di atas kursi kebesarannya sebagai seorang sekretaris.
Sementara itu, di dalam ruangan...
Erwin memijit pelipisnya, sedangkan matanya menelisik ruangannya kesana kemari. Tidak ada hal yang menarik, namun entah kenapa jantungnya menjadi berdegup dengan cepat saat ini. Erwin bergerak mengambil tas kerjanya yang tergeletak begitu saja di atas sofa.
Jam sudah menujukkan pukul 6, dan ia sudah sangat tidak sabar untuk segera mendatangi cafe itu lagi.
Well, Ashley, nama yang cantik, sama seperti orangnya.
Erwin kemudian melirik ke arah arlojinya, lalu tersenyum tipis seperti orang gila.
Sepertinya ia harus berangkat sekarang. Ya, sebenarnya Erwin masih penasaran dengan bagaimana caranya perempuan itu akan membelikan jas mahal tersebut kepadanya.
Mungkinkah hal ini yang membuat jantungnya berdegup dengan cepat saat ini? Entahlah, Erwin tidak tahu.
Setelah mengambil tasnya, ia kemudian berjalan keluar dari ruangannya. Erwin lalu menoleh ke arah Robert yang sedang duduk di tempatnya dan langsung saja mengeluarkan perintahnya.
"Aku akan pergi sekarang. Ganti semua kegiatanku hari ini untuk beberapa minggu ke depan. Jika para pengusaha tersebut tidak bisa menghadari rapatnya, batalkan saja kerja samanya antar perusahaan itu."
"Wah, kau benar-benar sudah gila, Erwin," komentar Robert dan menggelengkan kepalanya tidak percaya.
"Aku pergi sekarang," sahut Erwin, lalu berjalan dan akhirnya menghilang di balik pintu lift.
Pria itu menekan tombol lantai pada lift tersebut, kemudian mengetuk sepatunya sembari menunggu pintu lift terbuka. Setelahnya, Erwin langsung keluar dan menuju ke mobilnya yang terpakir gagah di lantai basement. Ia bersiul senang sembari masuk ke dalam mobil hitamnya.
Namun, baru saja Erwin mengendarai mobilnya hingga keluar beberapa meter dari gedung perusahaannya, sosok gadis yang sedang berdiri di tepi jalan membuatnya langsung menghentikan kendaraannya.
Ia menyipitkan matanya untuk memperjelas pandangannya ke arah sosok yang tampak tak asing baginya.
Ashley-kah? batinnya heran.
Erwin akhirnya memutuskan untuk memperlambatkan laju mobilnya, kemudian membuka kaca mobilnya. Ia melongok keluar dan terus menatap heran ke arah wajah itu.
Benar-benar Ashley.
Baru saja Erwin hendak menghentikan mobilnya guna untuk menyapa perempuan itu, sebuah kantong plastik putih yang sedang ditenteng oleh Ashley membuatnya langsung menghentikan niatnya.
Ia mengenali kantong plastik itu. Bukankah itu adalah kantong yang biasanya dibungkus untuk baju yang baru saja selesai di laundry?
Tiba-tiba saja, Erwin menyadari sesuatu. Ia tersenyum tipis ketika otaknya langsung mengetahui apa yang baru saja dilakukan oleh gadis itu.
Pasti jas hitamnya-lah yang di laundry. Dia sangat yakin dengan hal tersebut.
Dasar pembohong!
To be continue...
Don't forget to vote and comment✔. THANKS.
24 May 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect EVIL Boy
Romance15 tahun yang lalu. Eline Hill atau dipanggil 'flower' oleh teman kecilnya, adalah seorang anak perempuan yang baik dan ceria. Selain cantik, Ia juga sangat disukai oleh banyak orang. Erwin Collins, adalah teman dari perempuan itu yang sekaligus men...