Happy reading!! Maaf ya, kalau aku jadi lama update :( Soalnya pikiran aku lagi ngestuck, gak bisa imajinasi wkwkwk. Nanti untuk seterusnya, aku berusaha untuk cepat update lagi, ya. Semangatin ajaa!!
________________Waktu terus berjalan dengan cepat, namun terasa sangat lamban bagi Erwin ataupun Jason.
Hanya suara detikan jarumlah yang menemani dua pria yang sama-sama tengah duduk di bangku tunggu, menunggu kabar dari ruang operasi yang berada di depan mereka.
Jason ataupun Erwin selalu terdengar menghela napas mereka berkali-kali, seolah-olah mereka berdua sedang menanggung beban yang sangat berat di atas pundaknya.
Jason mengetukkan ujung sepatunya di atas lantai, sebelum tiba-tiba saja ponsel yang berada di dalam sakunya berdering.
Jason langsung merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel miliknya. Di sana, ia dapat melihat tulisan 'mom' tertera di atas layarnya.
"Sebentar, aku pergi mengangkat telepon terlebih dahulu," ucap Jason seraya melihat lurus ke arah layar teleponnya.
Tanpa menatap ke arah Erwin, Jason otomatis bangkit dari tempat duduknya dan sedikit berjalan menjauh.
Erwin menatap punggung Jason dari arah belakang. Tampak pria tersebut mengangkat telepon itu dan menaruhnya di samping telinga.
Hmm...
Baru saja Erwin hendak memejamkan kedua matanya, tiba-tiba saja ponsel Erwin yang berada di saku celana ikut berdering. Erwin mengernyitkan dahinya, lalu mengeluarkan ponsel. Siapa yang meneleponnya? Apa mungkin Robert?
Tapi untuk apa Robert meneleponnya? Menurut tebakan Erwin, pria itu pasti masih berada di atas ranjangnya dan bermimpi indah.
Mom?
Satu kata itu terngiang di kepalanya begitu ia melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Kenapa lagi sekarang?
Erwin seketika bertempur pendapat di dalam dirinya.
Batin terdalamnya mengatakan jika dirinya tidak usah mengangkat telepon tersebut, namun di sisi lain, ia juga tidak bisa untuk mengabaikan orang tuanya terus menerus.
Menghela napas, Erwin mengangkat telepon tersebut pada dering kelima. Suara ibunya seketika menyapa dari ujung telepon.
"Ah, beruntung kau mengangkatnya, Erwin."
Erwin hanya berdiam diri, mengunci mulutnya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Seolah-olah mengerti jika anaknya akan terus membisu, ibunya kembali melanjutkan perkataannya.
"Bisakah kau pulang ke New York sekarang?"
"Sekarang?"
Erwin memutar kedua bola matanya. Beberapa pikiran langsung memasuki otaknya.
Cabang perusahaan miliknya semakin kacau, dan itu terjadi karena hatinya tidak bisa diajak kompromi semenjak kehadiran Ashley di hidupnya. Terus, Erwin sendiri juga tidak bisa meninggalkan Ashley yang sedang berada di rumah sakit saat ini.
Tahu, kan. Dulu Erwin pernah meninggalkan Eline ketika perempuan itu sedang sakit-sakitnya. Dan sekarang, mom-nya menyuruhnya untuk pulang lagi tanpa alasan? Di situasi seperti ini?
Tidak, Erwin tidak akan meninggalkan orang yang ia sayangi lagi. Dulu ia sudah menyesal. Dirinya juga tidak bisa melawan orang tuanya pada waktu itu. Tapi, situasi tersebut sudah berbeda dengan sekarang.
Itu hanyalah masa lalunya yang masih ia sesali sampai sekarang. Karena itulah, ia tidak akan melakukan hal yang sama lagi.
"Tidak, aku tidak bisa pulang sekarang," balas Erwin dengan tegas.
"Kenapa, Nak?"
"Ada beberapa hal yang belum kuurus dan tidak bisa kutinggalkan begitu saja. Kumohon mom mengerti," jelas Erwin dengan nada yang dingin. Mata birunya menyorot tajam ke arah lantai rumah sakit.
"Oh, baiklah kalau begitu. Mom yang akan pergi menjengukmu di Washington. See you soon, Son."
Di detik selanjutnya, belum sempat Erwin membalas perkataan ibunya, telepon itu sudah ditutup oleh sebelah pihak terlebih dahulu.
Kali ini, bukan Erwin yang menutup teleponnya secara sepihak, melainkan ibunya sendiri.
Ada apa?
Ibunya tidak pernah bertingkah seperti ini sebelumnya.
Erwin menjauhkan ponselnya dari telinga, lalu menatap sedikit lama ke arah layar ponselnya yang sudah tertutup itu.
Mengedikkan bahunya, Erwin akhirnya memutuskan untuk bersikap tidak peduli.
Memang momnya beneran akan datang ke sini? Tapi untuk apa? Dan, kenapa tiba-tiba juga?
Erwin menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia memejamkan matanya sejenak, mengenyahkan semua pikiran buruk yang hinggap di kepalanya.
Dirinya juga tidak tahu dengan kabar cabang perusahaannya lagi. Ia malas mengatur semuanya. Keuangan perusahaannya berantakan, sama kacaunya dengan dirinya selama ini.
Hmm... Ia tidak ingin berpikir banyak lagi.
Erwin lantas membuka kedua matanya, sebelum pandangannya terjatuh pada Jason yang masih saja tenggelam pada ponselnya. Entah apa yang dibahas oleh pria tersebut, namun Erwin dapat melihat tatapan keseriusan yang terpancar dari kedua bola matanya.
Erwin tanpa sadar terus menatap Jason, sampai-sampai pria itu menutup telepon pun Erwin masih tidak sadar jika dirinya sedang melamun ke arah wajah Jason.
"Kenapa kau terus menatapku?"
Jason menjauhkan teleponnya dari telinga kiri, lalu memiringkan kepalanya dan menatap ke arah Erwin yang tengah menatap kosong ke arah dirinya. Sorot matanya menampilkan kebingungannya.
"Eh, tidak."
Erwin seketika tersadar di tempatnya. Ia mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya dari arah Jason ke arah pasien yang sedang berlalu lalang.
"Hanya saja, aku sedang melamunkan sesuatu. Ada masalah yang sedang kupikirkan," lanjut Erwin lagi ketika menyadari tatapan Jason yang tampak menusuk ke arahnya.
"Oh.. ok."
Tanpa bertanya apapun lagi, Jason beranjak dan duduk kembali ke atas kursinya, membuat Erwin tanpa sadar seketika menghela napas lega. Untung saja, pria itu tidak bertanya apapun lagi padanya.
"Siapa yang meneleponmu itu?" tanya Erwin, sekedar berbasa-basi. Melihat wajah masam milik Jason, Erwin dapat menebak jika pria tersebut sedang berada di dalam kondisi mood yang tidak baik.
Oh, tentu saja. Erwin sendiri juga tengah bad mood. Bagaimana tidak? Ashley sedang terkapar di dalam ruang operasi, sedang bertarung untuk mempertahankan nyawanya.
"Tidak apa-apa. Hanya saja, orang tuaku sebentar lagi akan menuju ke sini untuk melihat keadaan Ashley."
Erwin mengangkat alisnya.
"Orang tuamu? Maksudmu, orang tua Ashley?"
"Ya, iyalah!" sentak Jason tanpa sadar.
"Oh." Erwin menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
Kalau begitu, berarti Erwin harus bersikap sebaik mungkin nanti, agar orang tua Ashley bisa suka padanya.
To be continue...
Don't forget to vote and comment yaahh.
27 May 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect EVIL Boy
Romance15 tahun yang lalu. Eline Hill atau dipanggil 'flower' oleh teman kecilnya, adalah seorang anak perempuan yang baik dan ceria. Selain cantik, Ia juga sangat disukai oleh banyak orang. Erwin Collins, adalah teman dari perempuan itu yang sekaligus men...