Happy reading😯😯
_____________________Tapi, tidak terdengar suara sahutan dari belakang. Sepertinya teriakan Erwin tidak terdengar oleh Ashley. Dan karena itulah, John yang segera mengambil alih Ashley untuk sementara. "Baik, Tuan."
Erwin mendelik tidak suka. Sebelah tangannya lantas terangkat dan memberi tanda kepada John untuk segera datang ke tempatnya, membuat pria itu hanya mengangguk pelan.
John berjalan ragu menuju ke arah Erwin seraya meneguk salivanya dengan susah.
Tampak sang pengusaha itu terus menghujamkan tatapan tajamnya dengan ngeri, membuat seluruh bulu kuduknya merinding hebat sekarang.
"Ya? Tuan?" John menyeruakan suaranya dengan susah payah, menatap sedikit takut ke arah Erwin.
Pria itu tetap mengibaskan tangannya, menyuruh John untuk lebih mendekatkan dirinya dengan Erwin. Mengangguk, ia akhirnya berjalan mendekat. Tubuhnya sedikit dicondongkan.
"Kau siapa?" tanya Erwin dengan nada yang terkesan tidak suka, membuat John menatapnya gugup.
"Pelayan kafe."
Erwin mendesah panjang. "Maksudku, kau siapanya Ashley?"
John mengerjap bingung. Bola matanya bergerak menelusuri wajah tampan yang berada di depannya. Ia sangat bingung sekarang.
Seraya menelan ludah, John kembali menjawab. "Hanya teman, Tuan."
Sebelah alis itu terlihat terangkat, menatap John dengan tatapan yang tidak menarik. "Cuma itu?"
Bola mata John kembali bergerak penuh kebingungan. "Ya," sahutnya dengan yakin.
Erwin kemudian menghela napas lega. Tubuh yang sempat ia condongkan ke arah pelayan di depannya kembali bersandar dengan santai di belakang kursi.
Lalu, mata birunya bergerak menatap tag nama yang tersemat di pakaian pria itu. "Kau adalah manusia yang bernama John?"
John hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan ambigu dari Erwin. "Ya."
Kedua tangannya lalu dilipat di depan dada, kembali mengamati John dari atas hingga ke bawah. "Kau yakin jika kalian hanya sebatas teman, kan?"
Kali ini, John semakin dapat merasakan tatapan menelisik dan tidak suka dari pria berpakaian rapi di depannya. Kalau saja pria ini bukan seorang pengusaha kaya, John pasti tidak akan setakut dan segugup sekarang.
"Ya, Tuan. Anda bisa mempercayaiku karena saya belum bodoh untuk menyukai perempuan gila sepertinya," ujar John dengan risih, sementara Erwin hanya menatapnya dengan tatapan ber-oh-ria.
"Baguslah kalau begitu." Erwin kemudian manggut-manggut, lalu mengacungkan jari tengahnya ke arah John. Ia tersenyum remeh. "Jika kau bohong, kau tahu akibatnya banci."
Tanpa sadar, John langsung menggerutu dalam hati. Matanya memandang Erwin dengan tatapan kesal yang sedang berusaha ia sembunyikan. Apa katanya? Banci? Bukankah dia yang lebih parah? Gay!
John hanya berdecak samar, meratapi nasibnya yang sudah diolok-olokkan.
Padahal dia sudah memiliki wajah tampan yang seperti ini, tapi kenapa pria satu itu malah menyebutnya banci? John benar-benar miris melihat otak pengusaha ini.
Aih, John memang tidak bohong. Dirinya itu sudah begitu terkenal dengan sebutan 'pelayan tertampan' di kalangan perempuan di dalam kafe satu ini. Bahkan ada beberapa orang yang memotret dirinya secara diam-diam saat ia sedang bekerja.
"Kenapa kau terus menatap saya seperti itu? Tolong kau lebih santai sedikit," gerutu Erwin, membuat John mengerjap tanpa sadar. Apa? Ia melakukan apa?
"Dan, untuk apa kau terus mencondongkan tubuhmu ke arahku? Pembicaraanku sudah selesai," lanjut Erwin kembali. Matanya menatap tidak tenang ke arah John, membuat pria itu hanya cengesan dalam hati.
Dasar manusia dingin dan sombong!
"Tidak, Tuan. Hanya, terkejut." John menegakkan tubuhnya, lalu menatap ke arah Erwin dengan tatapan geram. Pria itu masih enggan untuk beranjak dari tempat tersebut, membuat Erwin sendiri mulai risih dengan pelayan pria jelek ini. Tatapannya itu, lho! Seakan-akan pelayan pria ini mempunyai dendam yang amat besar kepadanya.
Dengan tatapan andalannya, Erwin memandang John dengan pandangan yang terkendali, sampai-sampai pelayan itu tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Erwin.
"Tolong, aku memiliki phobia terhadap pelayan jelek. Jadi, sebaliknya kau pergi jauh-jauh terlebih dahulu sebelum penyakitku kambuh," ujar Erwin dengan nada yang tenang seperti air yang mengalir, tidak seperti dengan dada John yang mulai bergemuruh hebat seperti gunung api yang akan meletus kapan saja.
Telinga John mulai panas, memancarkan asap tidak baik di sekitarnya, dan Erwin sendiri dapat merasakan hal tersebut. Namun, pria itu tetap tenang dan terkendali.
Entah kenapa, John merasa tidak suka dengan Erwin. Harga dirinya telah dilecehkan begitu saja.
John mengangkat dagu, lalu tersenyum simpul. Ia kemudian membalikkan badannya dan sesaat kemudian, ia menggumamkan sesuatu. "Pengusaha bodoh!" gumamnya seraya berlalu pergi.
Namun, sedetik setelahnya, suara dingin dari arah belakang langsung berujar tidak senang. "Apa kau bilang?"
John meneguk ludahnya, lalu menunduk, memainkan jari-jarinya yang entah kenapa tiba-tiba jauh lebih menarik dibandingkan ia membalikkan badan untuk kembali menghadap Erwin. Apa kalimat yang ia gumamkan tadi didengar oleh Erwin?
"Pengusaha Bodoh?" Suara kekehan yang menyeramkan terdengar, nyaris membuat semua bulu kuduk John merinding hebat.
Mata birunya kemudian melirik Erwin, sebelum John memutar tubuhnya dengan terpaksa. Kakinya diseret-seret untuk kembali berdiri di depan Erwin. "Ya, Tuan?" tanya John dengan wajah tak berdosa dan polos. I'm innocent.
Erwin mengibaskan tangan, lalu mendongak menatap John dengan angkuh. "Pelayan jelek."
John tanpa sadar menggeram. Kedua tangan yang berada di sisi tubuhnya terkepal erat, dan ia baru saja menyadari sesuatu. Dirinya dan pengusaha satu ini tidak akan pernah akur.
_________________
To be continue...
Don't forget to vote and comment. THANKS.
BANYAKIN VOTE DAN KOMENTARNYA, BIAR AUTHOR BISA MAKIN SEMANGAT ^^
4 July 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect EVIL Boy
Romans15 tahun yang lalu. Eline Hill atau dipanggil 'flower' oleh teman kecilnya, adalah seorang anak perempuan yang baik dan ceria. Selain cantik, Ia juga sangat disukai oleh banyak orang. Erwin Collins, adalah teman dari perempuan itu yang sekaligus men...