Happy reading ^^
__________________Tiga hari setelahnya...
Hari demi hari telah Ashley lalui bersama Erwin. Gara- gara pria bejat itu, emosinya menjadi naik turun setiap harinya. Kadang ia merasa kesal dengan Erwin ketika pria itu selalu sengaja untuk mengganggu kegiatannya, ataupun ketika pria itu memaksanya untuk melakukan sesuatu yang sangat ia tidak suka.
Contohnya, Erwin pernah dengan teganya menyuruh Ashley untuk berdansa di depan umum. Bayangkan saja, dimana Ashley menaruh muka nantinya?
Dan, perempuan itu juga bersumpah, pria itu tidak pernah sekalipun tidak datang ke apartemennya dan menggedor pintu besinya dengan keras. Entah apa saja yang dipikirkan oleh Erwin belakangan ini, tapi jujur saja, hal yang dilakukan seperti itu selama tiga hari beturut-turut sudah cukup mengesalkan baginya.
Namun, terkadang Ashley juga dapat merasa nyaman dan aman ketika berada di dekat Erwin, itu membuat Ashley takut dirinya akan jatuh cinta pada pria itu cepat ataupun lambat. Ya, kelebihannya adalah pria itu selalu berada di sisinya kapanpun jika Ashley membutuhkan sesuatu.
Aish..
Ashley berjalan tanpa tenaga menuju ke tempat kafe miliknya yang tak jauh dari sini. Mata birunya sesekali melirik ke arah jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 7:10, di mana ia sudah terlambat sepuluh menit untuk membuka kafenya.
Seperti hari-hari biasanya, Ashley menjalani hari yang mungkin akan sangat membosankan dan suntuk. Melihat beberapa pengunjung yang akan keluar masuk untuk membeli kopinya, lalu duduk di meja dan bergosip ria.
Membosankan, walau secuil benaknya merasakan sedikit bahagia karena melihat para pembelinya yang menyukai kopi hasil racikannya nanti.
Napasnya kemudian terhembus pelan. Beberapa blok lagi ia akan sampai di tempat tujuannya. Tapi, entah kenapa, Ashley merasa hari ini dirinya terlalu lemas untuk sekedar membuka toko dan menjadi pelayan seperti biasanya.
Ia sangat lemas, dan rasa ini lebih mirip seperti--
"Ashley!" Suara teriakan dari arah belakang terdengar, dan orang yang meneriakkan nama itu adalah namanya. Aish, padahal tadi ia sudah sangat berharap jika tidak akan ada orang yang menganggunya hari ini, tapi sepertinya Tuhan masih belum mendengarkan permintaannya.
Bahkan untuk menolehkan kepalanya ke belakang saja pun malas.
Ashley akhirnya terpaksa menoleh, namun pria itu sudah terlebih dahulu berada di sebelahnya.
Salah satu alis Ashley terangkat, menatap Erwin yang tengah tersenyum di balik mobil yang pernah diduduki olehnya. Ia kemudian memilih untuk memalingkan wajahnya.
"Kau kenapa?" tanya pria itu ketika menyadari wajah lesu milik Ashley. Untuk sesaat, ia merasakan panik. Erwin memelankan laju mobilnya dan berniat untuk terus mengikuti langkah gadis itu. "Sakit?"
Kepala perempuan itu menggeleng pelan. "Tidak." Setelahnya, Ashley kembali menoleh menatap ke arah Erwin.
Oh, ia baru sadar jika Erwin sudah mengenakan jas hitam dan kemeja putih yang lumayan ketat dibaliknya, mencetak samar otot-ototnya yang bersembunyi di dalam. Jangan lupakan jika ada sebuah dasi yang sudah terikat rapi di lehernya.
Dia pasti pergi bekerja, simpul Ashley.
"Tapi, wajahmu terlihat sangat masam dan pucat," seru Erwin dan menatap serius ke arah wajah cantik milik gadis itu, membuat pipi Ashley tanpa sadar merona merah hingga kembali memalingkan wajahnya.
"Tidak usah khawatir. Moodku sedang jelek, jadi kuharap kau lebih baik menjauh-jauh dariku sebelum kau terkena imbasnya."
Suara deheman terdengar, disusul dengan suara Erwin. Ashley membelokkan langkahnya ke kiri, melewati satu blok ke blok yang lain hingga kedua mata birunya mendapati sebuah kafe mungil yang berada di depannya.
"Mau ke rumah sakit?" tawar Erwin, membuat mood Ashley semakin keruh. Dari sudut matanya, gadis itu dapat melihat John yang sudah berdiri di depan kafe dan menunggunya dengan tidak sabaran.
"Tidak usah."
"Kenapa? Aku akan mengantarkanmu jika kau mau."
"Kubilang tidak usah, Erwin. Aku hanya sedang berada dalam suasana yang buruk saja. Jangan membuat moodku semakin keruh!"
Dengan langkah yang lebar, Ashley berjalan menuju ke tempat kafenya, dibuntuti oleh mobil Erwin dari arah belakang. Sepertinya pria itu masih ingin mengikutinya, walau Erwin sendiri merasa sedikit terkejut dengan bentakan Ashley barusan.
Moodnya benar-benar buruk. Apa Erwin ada berbuat salah?
"Berhentilah mengikutiku. Aku harus segera bekerja. Dan lagipula, aku yakin sekali jika kau memiliki pekerjaan yang begitu menumpuk."
Erwin mengangguk singkat. "Ya, itu memang benar. Tapi, sebelumnya, aku ingin membeli kopi dulu."
***
John akhirnya bisa menghela napas lega ketika melalui sudut matanya, ia mendapati sosok Ashley yang sudah datang dan sedang berjalan ke arahnya. Well, tidak biasanya perempuan satu ini terlambat membuka kafe dan membuat dirinya harus berdiri seperti orang bodoh di depan kafe ini.
Setelah sosok perempuan itu terlihat semakin mendekat ke arahnya, John akhirnya berseru dengan nada yang kesal. "Kau terlambat!"
Ashley hanya mengangguk singkat. "Pagi yang buruk. Ada seseorang yang terus mengangguku sepanjang trotoar. Jadi, kau jangan membuat moodku semakin memburuk lagi, atau aku bersumpah akan mencekikmu hingga kehabisan napas," seru Ashley dengan kesal.
Kedua kakinya dihentakkan di depan John, membuat dahi pria itu berkerut aneh. Mata birunya terus menatap ke arah Ashley yang tampak mengambil sebuah kunci dari saku celananya, membuka pintu kaca kafe, membalikkan papan bertulisan 'close' ke 'open', lalu melenggang masuk begitu saja.
John mendesah kesal. Ia yakin jika mood Ashley benar-benar sudah memburuk, karena tidak biasanya raut wajah perempuan itu diawali dengan raut wajah yang buruk pada pagi hari seperti ini.
Dan, sepersekian detik selanjutnya, John baru saja menyadari bahwa Ashley tengah dibuntuti oleh sebuah mobil. Mata birunya kian menyipit tanpa sadar, menatap ke arah mobil hitam yang sudah pernah dilihatnya itu dua hari yang lalu. Dahinya kembali berkerut.
Bukankah itu--
"Ashley." Pemilik mobil itu keluar, membuat John sendiri langsung terperangah. Pria itu tanpa sadar menunduk hormat kepada Erwin, membuat sang pengusaha yang sedang berjalan terbirit-birit untuk mengejar Ashley melotot tajam.
John hanya memainkan jarinya saat tatapan mengerikan itu terasa langsung menghunus ke arah dirinya, membuat pria tersebut merasakan kegugupan yang luar biasa. Keberaniannya sudah terancam punah.
Beberapa pikiran dan pertanyaan sontak berkecambuk di benaknya, sementara Erwin melenggang pergi begitu saja. Sekali lagi, John dibuat tertegun oleh sikap dinginnya.
Bagaimana bisa pengusaha ini bersama Ashley?
John kemudian mengerjap saat pintu kaca kafe di depannya dibuka oleh Erwin, lalu ditutup kembali, meninggalkan dirinya sendirian di depan sini. John menggaruk kepalanya, merasa sedikit kesal karena diabaikan oleh Erwin begitu saja.
Menyusul langkah Erwin, John membuka pintu kaca dan menutupnya kembali. Matanya menatap Erwin tanpa berkedip ketika pria itu langsung duduk di salah satu kursi yang terletak di dekat kaca jendela.
"Kopi hitam satu." Tanpa membuka menu, Erwin menjerit kepada Ashley yang sedang berganti pakaian di ruangan belakang.
Tapi, tidak terdengar suara sahutan dari belakang. Sepertinya teriakan Erwin tidak terdengar oleh Ashley. Dan karena itulah, John yang segera mengambil alih Ashley untuk sementara. "Baik, Tuan."
____________________
To be continue...
Don't forget to vote and comment. THANKS.
BANYAKIN VOTE DAN KOMENTARNYA YA. THANK YOU😊😊
3 July 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect EVIL Boy
Roman d'amour15 tahun yang lalu. Eline Hill atau dipanggil 'flower' oleh teman kecilnya, adalah seorang anak perempuan yang baik dan ceria. Selain cantik, Ia juga sangat disukai oleh banyak orang. Erwin Collins, adalah teman dari perempuan itu yang sekaligus men...