Bab 22

2.2K 142 1
                                    

"Ka...kamu siapa?"

Suara gemetar milik Arima kontan membuat orang itu menoleh kearahnya sambil menaikkan alis, bingung.

"Tegang amat lo!"

"Kamu siapa?" Kali ini Arima semakin menggeser tubuhnya hingga keujung ayunan, mentok.

"Gak perlu jauh-jauhan gitu kali duduknya." Cowok itu memandang Arima yang masih menatapnya takut. "Tenang aja, gue gak gigit orang."

Cowok itu mulai menghentakkan kakinya ketanah, mengayunkannya kedepan lalu kebelakang dan membuat ayunan itu bergerak mengikuti arahannya.

"Kenapa kamu duduk disini?" Wajah takut Arima berubah santai, meski cewek itu masih memandang cowok tak dikenal disampingnya dengan was-was.

"Kenapa?"Cowok itu mendengus. "Emang ini taman punya nenek moyang lo?!"

Arima terdiam. cewek itu menoleh kanan-kiri, mencari keberadaan sang kakak yang entah dimana. Rasanya Arima ingin pergi dari taman itu segera.

Arima selalu seperti ini. Ia akan merasa takut dan cemas jika berada didekat orang tak dikenal.

"Lo cacat?"

Arima menoleh cepat saat pertanyaan sensitif itu terlontar dari cowok disampingnya. Cewek itu mengenggam erat besi ayunan disampingnya erat. Matanya menatap kursi roda didekatnya.

"I..iya." Cicitnya pelan.

Kak Ayumi, dimana? Rima takut.

Iya, Arima takut jika mendengar kenyataan bahwa dirinya emang cacat. Bahkan semuanya sudah berjalan empat tahun lamanya, tapi cewek berwajah manis itu masih merasa sakit setiap mendengar kata "cacat" yang selalu tertuju untuknya.

"Well..." Arima mendongak saat cowok itu tiba-tiba menghentikan gerakan ayunan dan berdiri di depannya. "Berarti lo tipe orang yang nyusahin."

Hati Arima mendadak mencelos mendengar ucapan cowok itu.

"Lo adiknya Ayumi kan?"

Pegangan besi ditangannya semakin erat. Arima menatap takut cowok yang tengah menatapnya remeh. Tatapan yang sering diterimanya sejak dulu hingga sekarang.

"Ka..kamu siapa?"

"Gue gak nyangka, cewek yang dikenal sempurna itu ternyata punya adik cacat kayak lo."

Lidah Arima mendadak kelu. Suaranya mendadak hilang. Arima menunduk, menatap kedua tangannya yang entah sejak kapan sudah menyatu dan membentuk kepalan.

"Tapi..."

Arima terkesiap saat melihat cowok itu kini berjongkok didepannya, masih dengan wajah merendahkan. Wajah Arima berubah pucat saat melihat seringai diwajah cowok itu.

"Kenapa kakak lo itu nutupin identitas adiknya yang cacat ini? Lo tau gak jawabannya?"

Tubuh Arima bergetar. Cewek itu memundurkan badannya kebelakang hingga membuat Ayunan yang masih didudukinya bergerak.

"Kenapa diem?"

Mata Arima mendadak memanas. Entah apa alasannya, cewek itu tidak tahu.

"A..aku mau pergi."cicitnya. Arima menggeser tubuhnya pelan, tangannya segera mengapai kursi rodanya yang berada tidak jauh darinya.

Masih dengan gemetar luar biasa, Arima mengenggam erat pegangan kursi rodanya.

"Perlu dibantu?"

"Nggak!"sahut Arima cepat.

Arima menggapai kursi rodanya hendak berpindah namun memang pada dasarnya Arima tidak kuat menjaga keseimbangan tubuhnya, gadis itu langsung terjatuh.

Arima meringis menatap telapak tangannya yang memerah. Cewek itu menyeret kakinya sambil mencengkram erat kursi rodanya. Wajahnya sudah memerah—tanda menahan tangis.

"Selain nyusahin ternyata lo juga cengeng."

Hanya sejengkal. Arima menundukkan wajahnya dalam saat merasakan napas cowok tadi kini terasa ditengkuknya. Arima mengigit bibir bawahnya, menahan diri agar tidak menjerit kencang—supaya tidak membuat keributan.

"Gue Jevan. Salam kenal, cantik."bisik cowok itu sebelum pergi meninggalkan Arima yang masih terduduk ditanah dengan air mata yang mengalir dipipinya.


Aku memang nyusahin

Tapi...

Aku sama sekali gak tau kenapa kondisiku begini.

Yang aku tau...

Aku terbangun saat kedua kakiku ini sudah tidak berfungsi lagi.

Namun, apa masalahmu?

Kamu siapa?

Aku sama sekali tidak mengenalmu.

Jevan.



Tbc

.............


Idola [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang