37. Take It Slow

362 58 3
                                    

Chrisdy akan menjadi orang yang paling Lena benci di dunia, sumpah demi apapun Lena tak akan memaafkannya. Sayangnya, kata 'akan menjadi' pada kalimat pertama sudah tergantikan menjadi 'adalah' dan kalimat kedua dibiarkan bersanding setia bersama kalimat pertama.

Chrisdy adalah orang yang paling Lena benci di dunia, sumpah demi apapun Lena tak akan memaafkannya.

Karena semua yang Lena katakan, semua yang Lena khawatirkan sudah menjadi nyata. Chrisdy berdusta--yang entah untuk ke berapa kalinya, dan Lena percaya--yang gadis itu bersumpah tak akan melakukannya lagi, baik kepada Chrisdy ataupun orang lain. Karena Chrisdy membuat Lena belajar bahwa kepercayaan tak bisa diberikan ke sembarangan orang dengan mudah.

Nasi sudah menjadi bubur, tak ada gunanya menyesal. Itu yang Lena ucapkan pada dirinya sendiri saat bertatapan dengan sosok Zidan di ruangan kerjanya dalam keadaan sehat wal afiat. Laki-laki paruh baya itu tampak sama seperti saat terakhir kali Lena melihatnya, duduk di kursi dengan penuh wibawa dan ekspresi yang tegas. Walaupun Lena merasa terkhianati oleh Chrisdy, paling tidak Lena tak perlu merasa khawatir lagi dengan Papinya. Karena kenyataannya laki-laki paruh baya itu terlihat baik-baik saja tanpanya. Di sisi lain Lena juga merasa bodoh karena mengkhawatirkan orang yang saat ini masih bisa menatapnya dengan tatapan kokoh dan tajam tanpa seulas senyumpun di bibirnya, Lena merasa bodoh karena mengkhawatirkan orang yang seharusnya tidak pantas untuk dikhawatirkan.

"Aku senang Papi nggak sekarat." itu kalimat pertama yang Lena ucapkan di hadapan Zidan. Namun kalimatnya tak sesuai dengan ekspresi wajahnya. Wajah gadis itu kaku, tatapannya tajam seperti Zidan. Meski begitu, dia tidak berbohong. Lena memang senang Zidan baik-baik saja. "Maksudku, belum. Ya, siapa yang tahu ke depannya nanti akan gimana." tak seperti terakhir kali Lena berbicara dengan Papinya, kali ini Lena tertawa. Tawanya terdengar sinis, membuat Zidan dan Chrisdy terkejut mendengarnya. Lena seperti orang lain.

"Siapa tahu nanti yang dibilang Chrisdy akan jadi kenyataan. Ya kan, Chrisdy?"

Mata Chrisdy melebar ke bukaan maksimal, terkejut sekaligus tak percaya dengan sikap Lena saat ini. Tidak, dia pasti bukan Lena. Lena tak akan seperti ini. Lena pasti akan menangis seperti sebelumnya. Tidak, dia bukan Lena. Itu yang sekarang ada di kepala Chrisdy.

Lena menghela napas seperti menahan emosinya agar tidak meledak, detik setelahnya wajah gadis itu kembali kaku, bahkan lebih dingin dari sebelumnya. "Aku nggak tahu apa yang kalian mau dari aku. Tapi bisa kita selesaikan semuanya dengan cepat? Karena aku yakin Bunda pasti tungguin aku di rumah, aku harus balik."

"Bethalena."

Kalau Lena adalah Lena yang dulu, maka dia pasti sudah takut hanya karena Zidan memanggil namanya. Tapi perlu ditegaskan sekali lagi, Lena tak mau menjadi Lena yang dulu.

"Apa?"

Kening Zidan mengerut. Matanya menatap lekat sosok Lena yang berdiri di hadapannya dengan mata gadis itu yang tak lepas dari matanya. Lena yang dulu bahkan tak berani untuk menatapnya. "Kamu... Bethalena Dimilo, kan?"

"Ya." Lena menjawab tegas, namun kemudian dia menghela napas dan memutar bola matanya. "Kayaknya."

"Kayaknya?"

"Karena aku nggak mau jadi bagian dari kalian lagi. Karena kalau bisa milih, dari awal aku nggak mau jadi Bethalena Dimilo. Aku juga nggak pernah merasa menjadi bagian dari Dimilo semenjak Bunda pergi, karena Papi yang nggak pernah perlakukan aku seperti bagian dari kalian." penjelasan Lena sukses membuat Zidan terkejut. "Kenapa? Apa aku salah?"

"Nggak. Aku nggak salah." kata Lena tegas. "Aku mau balik ke Bunda. Jangan minta aku balik ke sini lagi. Karena tempatku bukan di sini." Lena memutar badannya dan melangkah meninggalkan Zidan.

ALPHABET [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang