Kioki sedang menghirup udara segar di atap rumah sakit saat tiba-tiba saja ponselnya berbunyi dan laki-laki itu langsung berlari secepat kilat kembali ke kamar inap Omanya.
Saat Kioki sudah sampai di sana, tempat tidur Oma sudah dikelilingi oleh keluarganya, seorang dokter dan perawat. Kioki mempehatikan setiap raut wajah orang yang berada di sana. Opa menangis dengan tenang sambil memeluk Oma yang terbaring kaku, Mama Kioki menangis di dalam pelukan sang Suami yang sedang menggendong Lala yang juga sedang menangis tersedu-sedu. Kioki panik, dia langsung mendekat dengan langkah yang lemas.
"Ada apa?" Kioki berusaha tenang meski suaranya terdengar bergetar, laki-laki itu memperhatikan setiap orang seperti meminta kejelasan. Dia masih tak berani melihat Omanya, tak berani memastikan sendiri.
Namun tak ada satupun yang menjawab. Keluarga Kioki terlalu larut dalam kesedihan, tak sanggup mengatakan yang sebenarnya.
Kioki menahan napasnya, kepalanya perlahan tertoleh pada tubuh kaku yang terbaring di atas kasur. Senyum tipis terbit di bibir Kioki dengan bergetar, Oma terlihat baik-baik saja di mata Kioki, seperti saat terakhir kali Kioki melihatnya, wanita tua itu sedang tertidur dengan pulas.
"Oma lagi tidur." suara Kioki bergetar, dia masih mencoba bersikap tenang seolah yang dikatakannya benar. "Oma cuma lagi tidur."
Opa bangkit, mendekati Kioki sambil mengusap air mata yang jatuh ke pipi. Lalu laki-laki tua itu langsung memeluk cucu kesayangannya dengan lembut.
"Kioki..." ucap Opa dengan nada yang pedih sambil mengeratkan pelukannya karena Opa tahu cucunya membutuhkan sebuah pelukan.
Air mata Kioki langsung mengalir meski suara isakan masih berusaha dia tahan.
"Oma cuma lagi tidur 'kan, Opa?"
Opa mengangguk pelan, namun air matanya kembali mengalir membasahi pipi.
"Iya. Oma cuma tidur. Tidur untuk selamanya." jawab Opa yang langsung membuat tangisan Kioki pecah. Kioki langsung melepas pelukan Opanya dan mendekati tubuh Omanya yang sudah kaku.
"Oma.." Kioki menyentuh wajah Omanya dengan tangan yang bergetar, air mata jatuh dari dagunya. Kioki menggelengkan kepalanya ketika mengingat jawaban Opa. "Oma nggak boleh tidur terus, udah siang."
"Oma harus bangun. Minum obat, ya?" Kioki menggenggam tangan wanita renta itu, menempelkan ke pipinya. "Ayo kita main kartu remi lagi sama Lena."
"Kioki..." Mama Kioki menepuk pundak anaknya, memintanya untuk tenang dan rela.
Kioki langsung menggeleng, air semakin mengalir dengan deras. "Oma pasti capek banget ya? Oma boleh tidur lebih lama lagi, tapi janji nanti bangun ya?"
"Nanti kita pulang, ya, Oma?"
Kioki memperhatikan wajah Omanya, menunggu respon yang akan dia terima. Laki-laki itu berharap jari-jari keriput itu menunjukkan pergerakan-pergerakan kecil, Kioki berharap bibir yang pucat dan mengering itu menjawab ucapannya. Namun Kioki tak mendapat respon apapun, tubuh Omanya yang terbaring kaku itu justru semakin terasa dingin, semakin dingin setiap kali Kioki mengeratkan genggaman tangannya. Oma sudah meninggal.
"Oma..." Kioki langsung berhambur memeluk tubuh Omanya. Isakan pedih terdengar nyaring memenuhi ruangan. Kioki merasakan kesedihan yang begitu mendalam karena kehilangan sosok oma yang sudah seperti ibunya sendiri yang merawatnya selama 15 tahun, tempatnya berbagi kisah kasih penuh keluh kesah, orang yang paling dia cintai dan mencintainya di dunia ini. Kioki merasa seolah setengah jantungnya berhenti berdetak, seperti sesuatu memukul dadanya dengan keras.
"Waktu kematian.." suara berat milik seorang dokter itu langsung membuat kepala Kioki tertoleh. Dokter itu membicarakan sesuatu dengan seorang perawat, Kioki tak terlalu mendengarnya, namun sang perawat langsung menarik selimut dan menutupi tubuh Oma sampai kepala.

KAMU SEDANG MEMBACA
ALPHABET [TAHAP REVISI]
Teen FictionSepasang saudara yang terpisah karena sifat mereka yang bertolak belakang. Alpharel Dimilo atau yang biasa disapa Farel adalah anak sulung keras kepala dan pembangkang, sedangkan adiknya Bethalena Dimilo adalah seorang anak yang penurut. Namun ked...