40. DNA

381 51 0
                                    

"Na, udah tahu kan kita wisuda minggu depan?"

Adalah kalimat pertama yang Lena dengar ketika menjumpai Rona yang sedang memakai sepatu dengan salah satu kaki menginjak sofa. Gadis yang baru bangun tidur itu mengusap matanya sambil menguap, lantas mendaratkan bokongnya di samping gadis berambut merah.

"Akhirnya dikasih kepastian juga." kata Lena. "Setelah  hampir 4 bulan nunggu jadwal wisuda."

Rona mengangguk. "Kesepakatan lo sama Papi lo udah nggak berlaku lagi kan?"

"Nggak dong." jawab Lena mantab. "Karena dengan atau tanpa izin dari dia, gue tetap akan jadi Dokter. Gue nggak butuh dia."

"Tapi kayaknya dia nggak akan tinggal diam."

"Maksud lo?"

"Maaf sebelumnya, Na. Gue ngomong gini bukan maksud untuk membuat lo gelisah atau mau ikut campur urusan keluarga lo." kata Rona dengan serius. "Tapi lo tahu sendiri gimana Papi lo. Menurut lo kenapa dia mau lo balik ke Dimilo?"

"Karena dia mau sesuatu dari gue." Lena menjawab spontan, karena dia yang paling tahu orang seperti apa Zidan.

"Dan kalo dia nggak dapatin apa yang dia mau?"

"Dia nggak akan tinggal dia—" Lena tercekat. Benar. Rona benar, Zidan tak akan tinggal diam.

Rona mengangguk. "Kita masih belum tahu apa yang dia mau. Dan lo udah nolak kemauan dia bahkan sebelum dia sempat minta ke lo. Dia gagal dengan cara pertama, dia gagal ngebujuk lo dengan cara yang halus. Lantas, lo pikir dia nyerah gitu aja?"

"Nggak, Lena." Rona menyambung dengan tegas. "Dia sekarang lagi bergerak. Mungkin nggak ke lo, tapi dia bergerak ke orang lain yang pasti akan membuat lo mengiyakan kemauan dia."

Mendengar ucapan Rona yang seolah benar-benar terjadi, Lena menjadi cemas. Semua yang Rona katakan benar, Zidan memang orang yang seperti itu. Lena membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi, Zidan bisa saja menemui orang-orang terdekatnya dan langsung mengancamnya. Zidan bisa saja menemui Farel, atau Kioki.

🚧ALPHABET🚧

Farel berusaha mati-matian untuk tidak melayangkan kepalan tangannya ke pelipis laki-laki paruh baya berpakaian stelan jas rapi yang berada di hadapannya saat ini. Emosi Farel kian memuncak sejak melihat laki-laki itu muncul dari balik pintu. Kalau bukan karena GENOCIDE, kalau bukan karena laki-laki itu adalah CEO agensinya, Farel bersumpah dia tidak akan  sudi untuk duduk berhadapan dengan Zidan saat ini.

"Alpharel Dimilo." itu yang pertama kali keluar dari mulut Zidan tatkala dia mendaratkan pantatnya di hadapan Farel. Seulas senyuman terbit di bibirnya dengan licik. "Apa kabar?"

"Gue benci basa-basi." Farel berdecak jengah. "Apa lagi sama orang kayak lo, sialan."

Zidan tertawa sinis mendengar Farel—anak kandungnya—mencacinya tanpa sedikit rasa bersalah. "Sama, saya juga seperti itu." katanya kemudian, masih dengan senyuman liciknya. "Keliatannya kita punya sedikit kemiripan."

Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Zidan dengan leluasa membuat tangan Farel praktis terkepal dengan geram. Farel tidak sudi memiliki kesamaan dengan lelaki seperti Zidan. Tidak sudi memiliki DNA darinya.

"Sayang sekali," Zidan melirik tangan Farel dengan sudut bibir yang seolah meremehkan sembari mengeluarkan cerutu dari dalam saku jas bagian dalam. "Kamu nggak bisa mukul saya kali ini, nggak di hadapan publik seperti ini."

ALPHABET [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang